Your Adsense Link 728 X 15

Al Kabiir

Posted by "Asmaul Husna" Saturday, May 18, 2013 1 comments

Ibadah yang paling sering dilakukan kaum muslimin adalah shalat. Dalam shalat itu terdapat beberapa kalimat yang harus diucapkan dan gerakan yang harus dilakukan. Di setiap perubahan gerakan selalu diantarai dengan takbir (bacaan Allahu Akbar sambil mengangkat kedua tangan).

Ketika seorang Muslim sudah takbir (membesarkan nama Allah), maka pikiran, perasaan, dan gerakan fisiknya hanya tertuju kepada Allah. Ia berdiri dengan posisi menghormat, rukuk dengan posisi merunduk, dan sujud, berserah diri secara total kepada Allah. Dalam keadaan seperti itu, panggilan siapapun tak boleh dihiraukan. Termasuk panggilan boss atau atasan, panggilan orangtua, panggilan HP atau telepon. Ia hanya peduli pada panggilan Allah SWT hingga salam.

Membesarkan nama Allah seharusnya tidak hanya dalam shalat. Kapan dan di manapun setiap manusia harus senantiasa membesarkan-Nya. Panggilan-Nya-lah yang harus diutamakan untuk didengar dibanding dengan panggilan siapapun. Aturan (syari’ah)-Nya-lah yang seharusnya lebih ditaati daripada semua aturan yang ada. Hanya Dia yang Maha Besar.

”(Kuasa Allah) yang demikian itu, karena sesunguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil (sia-sia), dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar”. Al-Hajj: 62)

Kaum Muslim yang menjalankan ibadah haji terlebih dahulu harus menanggalkan seluruh pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan dua helai kain putih tak berjahit (ihram), lalu berseru kepada Allah dengan kalimat talbiyah, labbaikallahumma labbaik. Kami penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan hanya panggilan-Mu yang kami penuhi. Tiada yang bersekutu dengan-Mu.

Kebesaran Allah tak bertambah sedikitpun dengan takbir kita, demikian juga sebaliknya, kebesaran-Nya tak berkurang sekalipun semua makhluq-Nya tiada yang membesarkan-Nya. Kita takbir (membesarkan-Nya), karena kita butuh kepada-Nya. Kita bertakbir, karena kita ingin membesarkan jiwa kita dengan membebaskan diri dari semua oknum yang mengaku ”besar” atau justru kita ”besar-besarkan”. Hanya dengan takbir kita terbebas dari segala belenggu kejiwaan yang selama ini mengungkung kita.

Allah tak membutuhkan takbir kita, sebab Dia memang Mahabesar. Sang Penyandangnya (Al-Kabir) tidak membutuhkan pihak lain dalam segala hal, mulai dari yang kecil hingga yang paling besar. Justru semua pihak tak terkecuali membutuhkan-Nya, karena semua diciptakan hanya untuk bergantung kepada-Nya.

Allah Mahabesar karena Dia abadi, tiada awal dan tiada akhir. Adapun semua makhluk-Nya diciptakan dalam batasan waktu. Ada awal dan ada akhirnya. Ada proses awal keberadaannnya dan akan berakhir dengan kepunahannya. Ada kelahiran dan ada kematiannya.

Dia Mahabesar, karena keberadaannya merupakan sumber terpancarnya semua makhluk. Dialah yang merupakan sumber keberadaan semua makhluk. Dia wajibul wujud (keberadaaa-Nya wajib), sedang manusia dan semua makhluk yang ada lebih pantas disebut mumkinul wujud (keberaannya hanya sebatas mungkin). Semua manusia boleh ada dan boleh juga tidak ada. Ketiadaannya tidak menjadikan yang lain menjadi tidak ada.

Dalam al-Qur’an ada beberapa figur yang mengaku ”Besar”, di antaranya adalah Qarun yang karena kepemilikannya terhadap harta, menjadikannya sombong. Dengan arogan ia mengkalim bahwa harta miliknya merupakan hasil usaha dan ilmu yang dimilikinya.

Figur lain yang tak kalah sombongnya adalah Namrud dan Fir’aun. Keduanya dihinakan oleh Allah dengan kematian yang mengenaskan.

Allah membenci setiap manusia yang merasa besar dan menyombongkan diri. Allah berfirman:

”Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih”. (An-Nisaa: 173)

”Negeri akherat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi”. (Al-Qashash: 83)

Yang Maha Tinggi

Posted by "Asmaul Husna" Friday, May 17, 2013 0 comments
Sucikanlah Nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (QS. Al-A’la: 1) 


Kata Al-Aliy dalam Al-Qur’an terdapat sebelas kali, sembilan di antaranya merupakan Asma Allah yang dirangkai dengan Asma-Nya yang lain. Dirangkai dengan kata Al-Kabir sebanyak lima kali, dirangkai dengan Al-Adzim dua kali, dan disambungkan dengan kata Al-Hakim sebanyak dua kali.

Dalam Al-Qur’an juga ditemukan penggunaan bentuk superlatif dari kata Al-Aliy, yaitu Al-A’la (yang Lebih Tinggi) sebagaimana yang tercetak di awal tulisan ini. Bahkan Al-Qur’an juga mengabadikan klaim Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan Yang Lebih Tinggi, dengan kata-kata yang populer: Ana Robbukumul a’la. Hingga Allah merendahkan dan menghancurleburkannya.

Allah adalah Tuhan Yang Maha Tinggi (Al-Aliy). Dia mengalahkan dan menaklukkan seluruh yang ada, dan tak satu pun di antaranya yang mampu menolak titah dan ketentuan-Nya. Termasuk manusia yang kafir, boleh jadi mereka menentang Allah, tapi fisiknya pada akhirnya menyerah terhadap ketentuan-Nya. Mereka menjadi tua, lemah, sakit-sakitan, dan kemudian mati. Tak seorang manusia kafir pun yang dapat menepis ketentuan ini.

Apalagi makhluk yang lain, semua tunduk patuh, bahkan senantiasa bersujud kepada Allah, bertasbih. Al-Qur’an menyebutkan: “Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang. Gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar dari manusia? Dan banyak di antara manusia yang (tidak menjalani sujud) telah ditetapkan azabnya.” (QS. Al-Hajj: 18).

Sujud adalah simbolisasi dari “merendah” serendah-rendahnya. Pada posisi sujud, kepala atau kening kita yang menjadi simbol kehormatan dan kemuliaan kita justru langsung menyentuh bumi yang sehari-hari kita injak dan rendahkan. Itulah posisi terbaik kita sebagai hamba ketika berhadapan dengan Allah SWT. Itulah sebabnya, dalam posisi seperti itu, ketika solat, dianjurkan kepada kita untuk membaca: “Subhana rabbiyal a’la,” Maha Suci Tuhan Yang Maha Tinggi.

Sujud hanya boleh kita lakukan kepada Allah SWT. Kita tidak boleh sujud kepada siapa pun, dan kepada apa pun, karena Allah telah memuliakan kedudukan kita sebagai manusia. Kita adalah makhluk yang terhormat, mulia, lagi sempurna. Sangat naif jika kita bersembah diri kepada sesama manusia, apalagi kepada jin atau setan yang justru pernah diperintah Allah secara langsung bersujud kepada kita. Sungguh aneh jika ada orang yang takut, apalagi taat kepada jin dan setan.

“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat, Sujudlah kamu kepada Adam, maka bersujudlah mereka semua, kecuali Iblis. Dia enggan dan sombong karenanya dia termasuk golongan yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Kita adalah hamba Allah yang paling sempurna, karenanya kita harus meneladani sifat Allah, Al-Aliy dengan jalan menghiasi diri kita dengan himmah (ambisi positif) untuk meraih kemuliaan dan derajat yang tinggi. Caranya sederhana, lakukan hal-hal yang mulia dan bernilai tinggi, dan jauhi hal-hal yang rendah, remeh-temeh. Hidup kita hanya sekali, untuk itu yang sekali itu harus bernilai tinggi.

Untuk mencapai maqam yang tinggi, kita harus melewati aqabah (jalan mendaki), suatu jalan yang mengharuskan para pendakinya senantiasa tegar menghadapi goda dan teguh dalam cita-cita. Di setiap kelokan tak jarang dijumpai sorak-sorai yang merayu dan juga yang menakut-nakuti. Hanya pendaki istiqamah yang tetap sabar meniti pendakian hingga mencapai kemuliaan, ketinggian, sekaligus kebahagiaan dunia dan akherat. (Hamim Thohari)

Asy Syakuur

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments

Syukur selalu terkait dengan penerimaan nikmat. Seseorang yang menerima nikmat pantas dan seharusnya bersyukur. Lalu Bagaimana Dia Yang Maha Memberi Nikmat ternyata juga Maha Berterima kasih ? Sungguh keteladanan yang luar biasa telah ditampakkan oleh Allah SWT dalam suatu peragaan yang nyata, bahkan telah diabadikan menjadi nama-Nya, Asy-Syakuur.

Allah SWT selalu berterimakasih kepada hamba-Nya yang berbuat kebaikan, sekecil apapun. Meski kebaikan manusia adalah untuk diri mereka sendiri dan Allah sama sekali tidak mendapatkan imbalan apapun dari kebaikan tersebut,  Dia berterima kasih dengan cara memberikan pahala yang berlipat ganda atas kebaikan tersebut.

Satu kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya diumpamakan seperti sebutir padi, lalu padi itu ditanam. Satu pohon padi bercabang tujuh, masing-masing cabangnya menghasilkan seratus biji. Sungguh luar biasa, satu kebaikan diganjar dengan tujuh ratus pahala. Siapa yang bisa melipatgandakan kebaikan hingga 700 kali?

Tak cukup hanya dengan pahala, ternyata terimakasih Allah diwujudkan dalam bentuk lain, berupa pujian yang berulang-ulang. Allah memuji manusia yang berbuat baik sesuai dengan ketentuan-Nya dengan menyebut-nyebut namanya, menyebut kebaikannya, dan mengumumkannya pada seluruh penduduk bumi dan penghuni langit. Allah berseru pada seluruh malaikat, catatlah si Fulan telah
melakukan satu kebaikan dan Aku mencintainya. Jika Allah telah mencintai seorang hamba, maka seluruh malaikatpun mencintainya.

Siapa yang menyebarkan nama baik kita? Siapa yang mengharumkan nama kita? Sungguh jika diukur dengan sungguh-sungguh antara kebaikan yang telah kita perbuat dengan pujian yang kita terima seringkali tidak seimbang. Apalagi jika dibandingkan degan berbagai kesalahan yang pernah kita perbuat sebelumnya. Kalau bukan karena terimakasih Allah, sungguh kita adalah makhluk Allah yang hina, yang tak pantas menerima pujian sedikitpun juga.

Bentuk lain dari terima kasih Allah atas kebaikan manusia adalah dengan mengangkat derajatnya. Betapa banyaknya manusia yang berbekal sedikit kebaikan, tapi Allah mengangkat derajatnya sehingga secara otomatis mereka mendapatkan posisi yang baik, kedudukan yang terhormat, dan status sosial yang tinggi. Jika dihitung-hitung, sungguh kebaikan yang sedikit itu tidak ada artinya sama sekali.  “Dan sebutan namamu Aku populerkan.” (QS. Al-Insyirah: 4)

Jika Allah telah memberi teladan kepada kita tentang syukur, bagaimana dengan kita? Pertama, kita harus bersyukur kepada Allah dengan memuji nama-Nya: Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Segala pujian sesungguhnya tak cukup kita berikan kepada Allah, sebab kebaikan Allah melampaui segala bentuk pujian kita. Yang bisa memuji Allah dengan sebenar-benar pujian adalah Allah sendiri, sedang pujian kita hanya sekadar yang diajarkan-Nya kepada kita.

Tentu saja pujian saja tak cukup untuk mengungkapkan rasa terimakasih, tanpa dibarengi ketaatan pada perintah dan larangan-Nya. Segala nikmat, karunia, rizki, keutamaan, fasilitas, dan semua pemberian Allah haruslah kita gunakan untuk amal kebaikan. Ketaatan adalah bukti yang paling nyata dari rasa syukur kita kepada Allah swt. Seribu atau sejuta pujian belum bisa menggambarkan kesyukuran tanpa adanya ketaatan.

Kedua, selain bersyukur kepada Allah kita harus berterimakasih kepada manusia. Jika kita mendapatkan kebaikan dari orang lain, sekecil apapun kebaikan itu, maka wajib bagi kita untuk mengucapkan terimakasih kepadanya. Tak cukup hanya dengan ucapan terimakasih, kebaikan mereka hendaknya kita balas dengan kebaikan yang lebih banyak, atau minimal setara. Jika kita diberi hadiah sesuatu, maka wajib bagi kita membalas hadiah tersebut dengan lebih banyak, atau mnimal sama nilainya.

Begitulah cara kita bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada manusia. (Hamim Thohari)

Al-Ghafuur, Yang Maha Pengampun

Posted by "Asmaul Husna" Thursday, May 16, 2013 1 comments
"Kabarkan olehmu (Wahai Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hijr: 49)


Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melewati para sahabat yang sedang larut dalam tawa dan canda, lalu beliau menyalami mereka, kemudian bersabda: "Apakah kalian tertawa sedang neraka di hadapan kalian?" Atas nasihat tersebut, para sahabat menyesal atas perbuatannya dan mereka merasa sangat tertekan.

Tak lama kemudian Rasulullah saw kembali kepada mereka dan berkata, "Jibril baru saja mendatangi saya dan menyampaikan bahwa Allah bertanya, mengapa saya menjadikan sebagian hamba-Nya putus asa dari rahmat-Nya?" Setelah itu beliau membaca ayat di atas.

Kata “Al-Ghafur” berasal dari kata dasar gha-fa-ra, sama dengan “Al-Ghaffar” yang sama-sama merupakan nama sekaligus sifat Allah. Sebagian Ulama memberi arti yang sama terhadap keduanya, sebagian lagi menyatakan bahwa cakupan Al-Ghaffar lebih luas dan dalam dibanding Al-Ghafur, dan sebagian lagi sebagaimana pendapatnya Imam Al-Ghazali bahwa Al-Ghafur lebih sempurna dan menyeluruh pengampunannya.

Lepas dari perbedaan tersebut, al-Qur’an tak kurang dari 91 kali menyebut kata Al-Ghafur. Sebagian besar dirangkai dengan nama dan sifat Allah yang lain, sebagian sisanya berdiri sendiri. Dari sekian banyak ayat, kata Al-Ghafuur lebih banyak disandingkan dengan kata Ar-Rahim (tak kurang dari 70 kali). Hal itu memberi kesan bahwa sifat ghafur-Nya lebih merupakan derivasi dari sifat kasih dan sayang-Nya.

Betapa tidak! Allah memberi ampunan kepada setiap mukmin yang bertobat dan bersungguh-sungguh meminta ampunan-Nya. Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, kemudian ia tetap mengikuti jalan (petunjuk) yang benar." (QS. Thaaha: 82)

Bahkan kepada mereka yang telah melampaui batas dan tidak serta merta meminta ampunan sekalipun, Dia tetap berlapang untuk mengampuninya.

"Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)

Tentu saja tetap ada batasnya, yaitu syirk. Untuk jenis dosa yang satu itu Allah tak akan memberi ampunan sampai yang bersangkutan bertobat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirk) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An-Nisaa: 48)

Sebagai hamba-Nya Al-Ghafur, patut kita meneladani sifat tersebut dengan senantiasa berlapang dada, memberi maaf kepada mereka yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melakukan kesalahan kepada kita. Kita tetap memberi maaf kepada mereka yang meminta maaf ataupun yang tidak, yang mengakui kesalahannya maupun yang tidak.

Dalam masalah yang satu ini Abu Bakar Ash-Shidiq patut diteladani. Bayangkan, ia tetap berlapang dada dan memberi maaf kepada orang yang telah memfitnah dan merusak nama baik keluarganya, padahal orang tersebut selama ini ditanggung segala kebutuhan hidupnya, termasuk sandang, papan, dan pangannya.

Pada awalnya ia marah, tersinggung, bahkan terlontar suatu sumpah untuk tidak lagi menafkahi orang tersebut, tapi ia segera membatalkannya. Atas sikapnya itu Allah menurunkan firman-Nya:

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nuur: 22)

Al-Adhim, Yang Maha Agung

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
"Dan bagi-Nya lah keagungan di langit dan di bumi." (QS. Al-Jatsiyah: 37) 



Ruku’ adalah salah satu gerakan shalat yang harus dilakukan kaum muslimin. Posisi ruku' merupakan posisi tertunduk, di mana seseorang menundukkan separuh badannya dalam keadaan setengah berdiri. Pada saat posisi ketertundukan seperti itulah kita dianjurkan membaca: “Subahaana Rabbiyal Adhiim”, Maha Suci Allah, Yang Maha Agung. Kita ulangi bacaan itu minimal tiga kali. Dengan cara seperti itu, diharapkan tidak saja posisi fisik yang tertunduk, tapi hati mushalli (orang yang solhat) juga ikut merunduk.

Ketika shalat usai dilaksanakan, saatnya bagi kaum muslimin meminta ampunan atau maghfirah. Saat itu, bacaan yang dianjurkan adalah: Astaghfirullahal Adhiim, Aku minta ampuanan Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Lagi-lagi, kita minta Allah Yang Maha Agung, yang dengan keagungan-Nya bisa mengampuni dosa dan kesalahan kita, hamba-Nya yang hina.

Satu lagi yang telah mentradisi, setiap kali usia membaca Al-Qur’an, seorang Qaari menutup bacaannya dengan mengucapkan “Shadaqallahul-Adhiim”, yang artinya: “Maha Benar Allah, Yang Maha Agung. Al-Qur’an adalah bacaan agung, yang merupakan firman Allah Yang Maha Agung.

Kata “Adhim” pada dasarnya terambil dari kata a-dha-ma, yang berarti agung atau besar. Secara fisik, agung itu berarti besar, panjang, lebar, tinggi, sekaligus dalam. Ada yang bisa dijangkau dengan kasat mata, ada yang tidak. Gunung yang besar dan tinggi disebut agung karena kebesaran dan ketinggiannya, sekalipun masih dapat dijangkau oleh pandangan mata. Demikian juga binatang gajah disebut agung dibanding binatang lainnya karena fisiknya yang besar dan berat.

Di samping keagungan yang bersifat fisik atau materiel, ada juga keagungan yang bersifat immateriel, seperti keagungan perilaku atau akhlaq. Rasuullah saw dipuji oleh Allah karena akhlaqnya yang agung. Dia berfirman:

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlaq agung (mulia).” (Al-Qalam: 4) Semua keagungan makhluq Allah tetap terbatas, yang berarti terjangkau oleh akal. Hanya ada satu keagungan yang berada di atas semua jenis keagungan. Dialah Yang Maha Agung, Allah swt. Mata manusia tidak mampu memandang-Nya, dan akal manusia tidak dapat menjangkau hakekat wujud-Nya.

Allah Maha Agung karena keagungannya berada di atas segala yang agung, bahkan keagungan segala yang agung di dunia itu merupakan anugerah, kasih dan sayang-Nya. Allah Maha Agung, karena keagungan-Nya tak bertepi serta tidak dapat diukur dengan apa pun.

Allah Maha Agung karena akal manusia berlutut di hadapan-Nya. Jiwa manusia gemetar dan larut dalam cinta-Nya. Di hadapan-Nya semua wujud menjadi kecil dan tak berarti apa-apa. Semua makhluq membutuhkan pertolongan-Nya. Tiada suatu apa pun yang dapat menolak ketetapan-Nya.

Terhadap hal ini, Allah menegaskan melalaui firman-Nya dalam hadits Qudsyi: “Kebesaran adalah selendag-Ku, sedang Keagungan adalah pakian-Ku. Barangsiapa merampas salah satu (dari keduanya) Aku lempar dia ke neraka jahannam.” (HR. Abu Dawud).

Hadits di atas menegaskan dua hal. Pertama, kita harus senantiasa menyucikan nama-Nya dengan cara mengagungkan-Nya. Artinya, kita harus tetap meyakini bahwa tiada sedikit pun cela, kekurangan, dan sifat negatif pada Allah swt. Jika terbesit dalam hati kita keraguan tentang kesempurnaan Allah, maka kita harus segera beristighfar dan meminta ampunan-Nya.

Kedua, kebesaran dan keagungan itu hanya milik Allah. Dia-lah yang paling berhak menyandangnya. Sedangkan kita adalah makhluk-Nya yang hanya bisa menjadi agung dan mulia karena memuliakan-Nya, menjalankan syari’at-Nya, dan mengagungkan syia’ar-syi’ar-Nya. “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-hajj: 32)

Al-Halim, Yang Maha Penyantun

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
"Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 235) 


Dalam al-Qur’an, kata al-Halim tidak hanya khas milik Allah, tapi atribut ini bisa disandang manusia pilihan yang mempunyai sifat dan karakter penyantun. Setidak-tidaknya ada empat ayat yang digunakan Al-Qur’an untuk memberi gelar al-Halim kepada manusia.

Mereka itu adalah Nabi Ibrahim as -- dalam  Surat At-Taubah (9): 114 dan Surat Hud (11): 75. Orang kedua adalah Nabi Ismail, dalam Surat As-Shafat (37): 101. Kedua nabi tersebut mendapatkan julukan al-Halim langsung dari Allah SWT. Adapun orang ketiga adalah Nabi Syuaib, dalam Hud (11): 87. Bedanya, yang memberi gelar Al-Halim adalah kaumnya sebagai sindiran atas keteguhan dan kesantunannya dalam memperjuangkan misi kenabian.

Adalah pantas jika Ibrahim mendapat gelar al-Halim, karena kesabaran dan kesantunannya di luar batas-batas normal. Sekalipun diusir oleh ayahnya karena keyakinannya, beliau tidak marah, apalagi membencinya. Ia malah mendo’akan agar Allah SWT berkenan memberi ampunan kepada orangtuanya.

Allah mengingatkan bahwa mendo’akan orang kafir, sekalipun orangtuanya sendiri adalah perbuatan sia-sia dan diharamkan agama. Sekalipun begitu, Allah SWT tetap menghargai sikap santun dan sabar Nabi Ibrahim dengan pujian, bahkan diberi gelar al-Halim.

Ismail juga demikian. Ketika ayahnya, Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelihnya, Ismail tidak protes, marah, apalagi membencinya. Justru ia berkata kepada ayahnya: “Yaa abatif’al maa tu’maru satajiduni minash-shabirin. Wahai ayahku, laksanakanlah perintah Tuhanmu, engkau akan mendapati aku dalam keadaan bersabar."

Adakah kesantunan yang bisa melebihi kesantunan kedua nabi tersebut? Sulit, itu pasti. Tidak ada manusia yang derajat dan akhlaqnya sampai melebihi nabi. Meskipun demikian, ada di antara manusia biasa yang sampai ke derajat itu. Ia adalah Al-ahnaf bin Qois.

Sekalipun ada manusia yang bergelar al-Halim, sikap santun Allah berbeda: tidak dibatasi ruang dan waktu. Ia bersifat konstan. Dia yang menyaksikan kedurhakaan para pendurhaka, melihat pembangkangan para pembangkang, Dia masih memberi kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dia begitu santun walau kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi.

Marilah kita renungkan sifat santun Allah melalui hadits di bawah ini:

“Seorang hamba Allah melakukan dosa, lalu berdo’a: wahai Tuhanku! Ampunilah dosaku. Allah SWT berfirman: HambaKu telah melakukan dosa, tetapi ia tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa atau menghukumnya karena melakukan dosa. Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi, lalu berdo’a : Wahai Tuhanku! Ampunilah dosaku. Allah swt berfirman: HambaKu melakukan dosa, tetapi ia tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa dan menghukumnya karena melakukan dosa. Oleh karena itu berbuatlah sesuka hatimu, Aku akan ampunkan dosamu..." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Allah Maha Penyantun. Dia tidak memutuskan rizki-Nya kepada orang yang melakukan dosa, tidak bersegera menjatuhkan hukuman kepada orang yang durhaka. Hadits Qudsi berikut ini menggambarkan betapa Maha Santun-Nya Allah SWT:

"Jika engkau mengingat-Ku, Aku pun mengingatmu; jika engkau lupa kepada-Ku, aku tetap mengingatmu. Jika engkau taat kepada-Ku, maka pergilah kemana pun yang kau kehendaki. Engkau jadikan Aku pelindungmu, maka aku melidungimu; engkau tulus kepada-Ku, Akupun tulus kepadamu; engkau berpaling dari-Ku, Aku menuju kepadamu. Siapakah yang memberimu makan ketika engkau masih berbentuk janin dalam perut ibumu? Aku yang terus-menerus melakukan pentadbiran yang sempurna kepadamu, sehingga rencana-Ku terlaksana pada dirimu. Tetapi ketika engkau Ku-keluarkan menuju ke pentas bumi, engkau bergelimang di dalam dosa. Bukan begitu pembalasan kepada yang berbuat baik kepadamu." (Hamim Thohari)

Al Khobir

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
"Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi Dia mencapai segala indera. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An’am: 103) 


Al-Khabir berasal dari akar kata kha-ba-ra, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55 kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi yang digandengkan dengan Asma’ul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim al-Khabiir, Al-Lathiif al-Khabiir, Al-Khabiir al-Bashiir, dan Al-Aliim al-Khabiir.

Dalam Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Alim dengan Al-Khabir itu terjemahannya sama, yaitu Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan arti yang signifikan. Al-Alim mencakup pengetahuan Allah tentang sesuatu dari sisi-Nya, sementara Al-Khabir adalah pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu yang diketahui. Jika yang pertama (Al-Alim) tekanannya lebih kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabir) justru yang menjadi titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, di mana manusia tidak bisa mengetahui secara pasti, maka rangkaian sifat Allah yang digunakan untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut ini: “Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Demikian juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang hanya Dia yang mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Alii al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Lain halnya ketika al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat atau adzab, rangkaian kata yaang dipakai adalah Al-Hakiim al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata. Jika Allah menimpakan suatu?kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 16-18).

Rangkaian kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku makhluq-Nya yang menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan di bumi; bagi-Nya segala puji di akherat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS. Saba: 1-2).

Pasangan lainnya adalah Al-Lathiif al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat rahasia, sehingga indera biasa tak bakal mengetahuinya. Allah berfirman: “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 103).

Rangkaian terakhir adalah Al-Khabiir al-Bashiir, yang dipakai al-Qur’an untuk menggambarkan pe­ngetahuan Allah tentang segala kebutuhan hamba-hamba-Nya. Allah berfirman: “Sekiranya Allah me­lapangkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya sesuai dengan ukuran yang di­kehendaki-Nya; terhadap hamba-hamba-Nya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).

Tiada daun kering yang jatuh dari tangkainya, kemudian ditiup angin sehingga di bumi mana jatuhnya, kecuali Dia mengetahuinya. Tiada semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang kelam, kecuali Dia pula yang mengetahuinya. Kedipan mata, degupan jantung, dan kehendak dalam hati, diketahui-Nya pula. Lalu ke mana kita bisa menghindar dari pantauan-Nya? (Hamim Thohari)

* Disalin dari Majalah Nebula (ESQ Magazine) Edisi 05/Tahun III/April 2007

Asmaul Husna (Al-Latif)

Posted by "Asmaul Husna" 8 comments

Kata Al Lathif  berasal dari akar kata la-tha-fa, yang bermakna lembut, halus, atau kecil. Az-Zajjaj, pakar bahasa Arab dalam tafsir Asma’ul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai ul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai “yang mencapai tujuannya dengan cara yang sangat tersembunyi atau tak terduga.”

Predikat Al Lathif  memang pantas disandang Allah, dan hanya Dia yang pantas menyandangnya. Setidak-tidaknya, ada tiga alasan mengapa Dia disebut Al Lathif :

Pertama, Dia melimpahkan karunia kepada hamba-hambaNya secara tersembunyi dan rahasia, tanpa diketahui oleh mereka. Ketika Dia menyatukan dua insan berlainan jenis dalam mahligai rumahtangga, tak seorang pun tahu dari mana datangnya cinta. Begitu halus, begitu lembut, sehingga orang yang dikaruniainya tak juga mengetahuinya. Demikian pula anugerah rizki yang lain, semua serba halus dan tersembunyi. Al-Ghazali memberi catatan khusus di sini, ketika ia menggambarkan betapa Maha Halusnya Allah. Ia mengangkat contoh janin, bagaimana Allah memelihara janin ibu dan melindunginya dalam tiga masa kegelapan, yaitu kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Betapa Mahahalusnya Dia ketika memberi makan janin melalui pusar sampai ia lahir dan mengilhaminya menyusu kepada ibunya tanpa ada yang pernah mengajarinya. Gigi-gigi bayi ketika itu belum ditumbuhkan agar si Ibu tidak kesakitan ketika anaknya menyusu. Siapakah yang menahan tumbuhnya gigi bayi? Semuanya serba halus, lembut, dan nyaris tidak ada yang mengetahuinya.

Kedua, Dia menghamparkan alam raya ini untuk makhlukNya. Allah memberi kepada semua makhlukNya melebihi yang diminta. Kita tidak pernah minta hidup di dunia ini, tapi Dia menganugerahi kehidupan. Kita tidak pernah ingin dijadikan manusia, tapi Allah menakdirkan kita menjadi manusia. Kita tidak pernah minta bisa berbicara, tapi Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara. Dia telah memberi sebelum diminta. Di sisi lain, Dia tidak pernah menuntut balas, juga tidak memberi beban melebihi kemampuan makhlukNya. Adakah yang lebih santun dari Dia?

Ketiga, Dia berkeinginan agar semua makhlukNya mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan. Dia tidak ingin makhlukNya mendapati kesulitan. Al-Qur’an bertutur: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kalian dalam kesulitan.”

Itulah sebabnya, Allah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana kehidupan dan memberi kemudahan kepada manusia untuk mendapatkannya. Allah melengkapi makhlukNya dengan berbagai indera, selain naluri yang bersifat alamiah. Khusus untuk manusia, Allah mengaruniakan akal pikiran dan hati nurani. Dua sarana yang dikaruniakan Allah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.

Al `Adl Yang Maha Adil

Posted by "Asmaul Husna" Saturday, May 11, 2013 0 comments




Keadilannya bersifat mutlak. Keadilan adalah lawan kezaliman. Kezaliman menyebabkan penderitaan, kerusakan, dan rasa sakit hati, sedangkan keadilan menjamin kedamaian, keseimbangan, keteraturan, dan keselarasan. Alloh Yang Maha Adil adalah musuh orang-orang zalim : Dia membenci orang-orang yang mendukung kaum zalim maupun sahabat, simpatisan, dan rekan-rekan mereka. Di dalam Islam, apa pun bentuk kezaliman diharamkan. Adil adalah kemuliaan dan pertanda kebaikan seorang muslim.


Dua hal yang berlawanan ini  keadilan dan kezaliman  mempunyai implikasi yang luas dan lebih penting daripada hanya sekedar akibat-akibat moral dan sosial belaka. Keduanya setara dengan keselarasan lawan ketidakselarasan, keteraturan lawan kekacauan, benar lawan salah. Jika dalam mengungkapkan kedermawanannya seseorang memberikan uang kepada orang kaya, memberikan pedang kepada para ilmuwan, dan memberikan buku kepada tentara, maka dalam hal tertentu dia dianggap zalim, karena pedang hanya cocok bagi tentara, buku bagi para ilmuwan, dan si miskinlah yang membutuhkan uang. Akan tetapi, jika Alloh berbuat hal yang sama maka tindakan-Nya itu adil, karena Dia melihat segala, yang terdahulu dan yang terkemudian, yang zahir dan yang batin. Dialah Yang Maha Mengetahui , Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Keadilan Yang Mutlak. Dia menciptakan sebagian indah dan sebagian yang lain jelek, sebagian kuat dan yang lainnya lemah. Lalu Dia membuat yang indah menjadi jelek, yang kuat menjadi lemah, yang kaya menjadi miskin, yang bijaksana menjadi bodoh, yang sehat menjadi sakit. Semuanya adil. Semuanya benar.

Tampak bagi sebagian kita adalah tidak adil bahwa ada orang yang lumpuh, buta, tuli, kelaparan, gila, dan bahwa ada anak muda yang mati.

Alloh adalah Pencipta segala keindahan dan keburukan, kebaikan, dan kejahatan. Dalam hal ini ada rahasia yang sulit dimengerti. Tetapi setidak-tidaknya, kita memahami bahwa seringkali orang harus mengenal lawan kata dari sesuatu untuk memahaminya. Orang yang tidak pernah merasakan kesedihan, tidak akan mengenal kebahagiaan. Jika tidak ada yang buruk, kita tidak akan mengenal keindahan. Baik dan buruk sama pentingnya. Alloh menunjukkan yang satu dengan yang lain, yang benar dengan yang salah, dan menunjukkan kepada kita akibat dari masing-masingnya. Dia memperlihatkan pahala sebagai lawan kata dari siksaan. Lalu dipersilakan-Nya kita untuk menggunakan penilaian kita sendiri. Sesuai dengan takdirnya, masing-masing mendapatkan keselamatan dalam penderitaan dan rasa sakit, atau kutukan dalam kekayaan. Alloh mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. Hanya Alloh yang mengetahui nasib kita. Perwujudan dari nasib itu adalah keadilan-Nya.

Selain nama indah Alloh, al ‘Adl, kita harus bersyukur atas kebaikan, dan menerima, tanpa prasangka atau keluhan, apa pun nasib kita yang tampaknya kurang baik. Dengan demikian, mungkin rahasia keadilan Alloh akan terungkap kepada kita dan kita akan merasa berbahagia dengan kesenangan dan penderitaan yang berasal dari Sang Kekasih.

BAGIAN HAMBA

‘Abd Al ‘Adl orang yang pertama-tama memberlakukan terhadap dirinya sendiri apa yang ingin diberlakukannya kepada orang lain. Perbuatannya tak pernah didasarkan atas rasa marah, dendam, atau kepentingan diri sendiri : perbuatannya itu tak pernah merugikan orang lain. Dia bertindak dan berbuat sesuai dengan hukum Alloh. Tetapi orang seperti itu mengetahui bahwa keadilan Tuhan tidaklah seperti yang dibayangkan manusia. Dia memberikan hak-hak mereka sesuai dengan hak yang memang mereka miliki.
Manusia yang bermaksud meneladani sifat Alloh ini, setelah meyakini keadilan Ilahi, dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya (baca QS. An Nisa’ : 135) bahkan terhadap musuhnya sekalipun (baca QS. Al Maidah : 8).

Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri. Dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.

Jangan duga, tulis Alghozali  bahwa penganiayaan (lawan dari keadilan) adalah gangguan dan keadilan adalah memberi manfaat kepada manusia. Tidak! Bahkan seandainya seorang penguasa membuka dan membagi-bagikan isi gudang yang penuh dengan senjata, buku, dan harta benda, kemudian dia membagikan buku-buku kepada ulama, harta benda kepada hartawan dan senjata kepada tentara yang siap berperang, maka walau sang penguasa memberi manfaat kepada mereka tetapi dia tidak berlaku adil, dia menyimpang dari keadilan, karena dia menempatkannya bukan pada tempatnya. Sebaliknya kalau seseorang memaksa si sakit untuk meminum obat yang pahit sehingga mengganggunya, atau menjatuhkan hukuman mati atau cemeti kepada terpidana, — maka inipun walau menyakitkan, adalah keadilan, karena pada tempatnya, sakit dan gangguan itu ditempatkan.

Ya Alloh, Aku bermohon kiranya Engkau melindungi aku dari keadilan-Mu dengan kelemah lembutan dan kasih sayang-Mu. Ya Alloh Aku berlindung dengan kemurahan-Mu dari keadilan-Mu. Wahai Tuhan Yang Maha Adil lagi Maha lemah lembut , Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Wallohu a’lam bi showab.

Sang Penguasa Angin

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
Seringkali kita mendengar cerita tentang kisah Nabi Sulaiman dan kehebatannya. Baik itu dari orang tua, maupun guru ngaji kita. Dari semua cerita yang kita ketahui, betapa hebatnya Sang Nabi, yang dapat mengendalikan angin, memerintah jin, bahkan semua makhluk pun tunduk kepada perintahnya. 

Konon katanya, beliau dianugrahi Tuhan sebuah cincin, yang mana dari cincin inilah beliau dapat menguasai hingga memerintah semua makhluk. Setelah kepergian Sang Pemilik Cincin, tidak ada yang tahu pasti dimana pusaka kekuasaan itu berada. Berawal dari ramalan seorang pengemis tak bernama kepada salah seorang murid toriqoh, “Kau akan melakukan perjalanan panjang!” ucapnya tiba-tiba saat berada di masjid Haramus-Syarif. Istilah murid dalam thoriqah adalah darwis. Darwis tersebut bernama ishaq. Ia tak mengerti juga tak paham maksud dari pengemis itu.

Setelah kejadian itu, Ishaq terus kepikiran pada ramalan itu. Kegiatan hariannya ia lakukan seperti biasanya. Pada malam ke sekian, Sang Syaikh sedang berdongeng tentang keagungan Nabi Sulaiman, Sang Penguasa Angin. Para darwis khidmat menyimak tuturan dari Sang Syaikh kecuali Ishaq yang terus memikirkan kata-kata si pengemis. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu khaniqah (majelis pengajian) tersebut. Seorang Profesor, yang merupakan kawan lama Sang Syaikh, bersama anak perempuannya, dan seorang kapten datang ingin menemui Sang Syaikh. 

Sebuah silinder emas berhiaskan permata di tangannya yang berisi gulungan kertas papirus kuno berlambang Bintang Daudlah yang membawa mereka untuk ingin menemui Sang Syaikh. Gulungan papirus tersebut ditemukan oleh sang kapten dalam sebuah gua di padang pasir tempat sang kapten tersesat. Gulungan perkamen itu berisi tentang do’a dari pendeta zaman nabi sulaiman. Sang Syaikh pun menyuruh mereka mengungkap rahasia dibalik silinder emas itu. 

Dari penemuan inilah yang nantinya mengantarkan 7 murid sang Syaikh menempuh perjalanan panjang penuh badai, rumit, dan menegangkan. Ujung dari perkamen tersebut bermuara pada artefak terbesar dalam sejarah zaman kuno; Cincin Nabi Sulaiman. Sebuah cincin bergambar hexagon, segel nabi sulaiman, yang bisa membuat angin, jin, binatang dan bahkan seluruh makhluk hidup akan tunduk dan taat kepada perintah pemakainya. Ishaq, ditunjuk sebagai juru tulis perjalanan, bersama dua orang darwis lainnya Ali dan Rami. Mereka diutus untuk ikut dalam ekspedisi tersebut. Ekspedisi yang kelak akan membentuk kepribadian mereka. Perjalanan mereka dipandu oleh seorang sufi yang manguasai ilmu Nabi Khidir. Ia adalah pengemis yang meramal Ishaq di masjid haramus-syarif. 

Perjalanan itu tidak seperti yang mereka sangka. Mereka akan terdampar di sebuah tempat misterius yang belum pernah ada di dunia nyata. Tempat yang sangat jauh dan tidak semua orang dapat mengetahui tempat tersebut. Nama tempat tersebut Jinnistan, kerajaan Jin yang dibangun oleh Raja Sulaiman sebagai hadiah untuk Ratu Sheba, itulah tempat tujuan akhir mereka. Dalam perjalanan menuju jinnistan mereka dikepung badai pasir dan terdampar di reruntuhan istana kuno yang tak diketahui secara jelas identitasnya. Mereka menemukan semacam altar yang terdiri dari empat buah pintu yang menghadap persis kepada empat arah mata angin. 

Di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur tua bergambar segel Sang penguasa angin. Dari sanalah mereka mulai memasuki Jinnistan dan bertemu dengan Sang Raja Jin, Baalzeboul. Irving Karchmar, penulis buku, seorang darwis yang dulunya seorang yahudi yang kemudian menjadi muslim dan berbaiat pada Tarekat Ni’matullahi, menyajikan sebuah novel spiritual dengan latar kehidupan sufistik, yang telah diterjemahkan dalam 7 bahasa. Dari judul di atas memang sekilas novel ini nampak mengandung cerita mistis. Namun sebenarnya inti dari kisahnya bukanlah kisah mistis dan jalan ceritanya pun tidak bernada horror. Di sini, Karchmar menggambarkan adat kehidupan Tarekat Sufi gaya Persia mulai dari tatakrama, kehidupan sosial bermasyarakat, romantisme antara mursyid dengan para darwis, dan sisi spiritual pribadi sendiri.

Ketegangan perjalanan tidak berhenti sampai disini. Masih ada tantangan yang akan mereka hadapi ketika memasuki Jinnistan. Tanpa diketahui ternyata para jin pun menaruh harapan terhadap mereka, agar bisa membebaskan mereka dari dosa kekafiran. Apakah mereka berhasil melakukan petualangan panjangnya? Benarkah cincin nabi sulaiman itu ada? Lantas siapa yang menyimpan pusaka tersebut nantinya? Semuanya tertera jelas penuh misteri dalam buku berjudul Sang Raja Jin, Petualangan Menemukan Cincin Nabi Sulaiman.

Popular Posts