Your Adsense Link 728 X 15

Al Hakam ( Yang Menetapkan Hukum )

Posted by "Asmaul Husna" Tuesday, April 16, 2013 0 comments

Al-Hakam berasal dari akar kata ha-ka-ma. Dari akar kata itu bisa berubah menjadi haakim dan hukm. Semua kata yang berasal dari pengembangan akar kata ha-ka-ma mempunyai makna yang sama, yaitu menghalangi. Itulah sebabnya, hukum dapat diartikan sebagai perangkat yang dapat menghalangi atau membatasi seseorang atau sekelompok orang dari tindakan yang melanggar.

Pengertian pertama Al-Hakam adalah bahwa Allah-lah yang Maha Memutuskan dan Menetapkan semua perkara. Segala yang terjadi di kolong langit dan di atas bumi adalah ketetapan-Nya. Kapan selembar daun mengering, kapan terlepas dari tangkainya, dan kapan pula jatuhnya ke bumi, Dia-lah yang menetapkan. Tiada Tuhan selain Allah, yang menetapkan segala sesuatu berdasar hukum-Nya.

Pengertian kedua, melalui Asma-Nya ini Allah menetapkan bahwa setiap individu manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Setiap individu menanggung sendiri dosa dan pahalanya. Anak tidak menanggung dosa bapaknya, demikian juga sebaliknya. Islam tidak mengenal dosa warisan, sebagaimana firman-Nya: “Dan bahwa setiap manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusakannya, dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepada-nya).” (An-Najm: 39-40).

Pengertian ketiga, sebagai Al-Hakam, Allah telah menetapkan kepastian hukum bagi hamba-Nya. Bagi yang berbakti akan diganjar dengan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang durhaka akan dihukum dengan kesengsaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yanag penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13 dan 14)

Pengertian keempat, Allah adalah Hakim Agung. Sebagai Hakim Agung, Allah tidak membutuhkan sesuatu, malah sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya. Dia tidak bisa dirayu, disogok, dan disuap. Di pengadilan Allah, semua perkara diputus dengan seadil-adilnya. Semua alat bukti dapat dihadirkan, bahkan Allah sendiri yang akan menjadi saksinya. Jangankan perbuatan yang terlihat, niat yang tersembunyi sekalipun dapat dilihat Allah swt. Di hadapan Allah, mana mungkin kita mengingkari atau sekadar menyembunyikannya?

Pengertian kelima, setiap keputusan yang keluar dari-Nya pastilah merupakan keputusan dan adil dan bijaksana. Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya, tapi hamba-Nya lah yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Apa pun keputusan-Nya harus kita terima. “Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan bisa jadi apa yang kamu sukai itu menjadi jelek bagi kamu.” (Al-Baqarah: 216)

Sebagai hambanya Al-Hakam, kita hanya boleh berbaik sangka terhadap apa yang telah diputuskan kepada kita sampai saat ini, juga terhadap apa yang akan diputuskan kelak pada kita di akherat nanti. Kita rela dan bersyukur atas keputusanNya di dunia ini, dan kita senantiasa berharap keputusan terbaik buat kita di akherat kelak.

“Maka patutkah aku mencari hukum selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114)

Al - Bashir Yang Maha Melihat

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
Al-Bashir berasal dari kata ba-sha-ra, yang arti harfiahnya adalah “melihat”. Dalam pengertian yang lebih luas, bashara bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip dalam al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada para terpidana dan petugas di lingkungan penjara dengan mengatakan: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah),” (QS. Yusuf: 108)

Arti lain, seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin. Ada pula yang menyebutnya dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang telah memiliki bashirah akan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Ketika melihat sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan mata batinnya yang dapat menembus batas ruang dan waktu.

Bashirah dalam pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekat atau melakukan taqarrub kepada Allah. Salah satu hamba-Nya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Telah diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Israa: 1).

“Tanda-tanda Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung, atau tersembunyi. Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam ghaib dibuka sehingga tidak ada lagi pembatas yang mengantarai Rasulullah saw dengan alam ghaib. Dengan begitu, peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang jelas di hadapannya.

Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga dikaruniakan kepada para hamba-Nya yang senantiasa taqarrub kepada-Nya. Dalam hadits Qudsi Allah berfirman:

“Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti Ku-kabulkan. Jika meminta perlindungan, maka pasti Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Sebagai hamba Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan diawasi Allah. Bagi-Nya, tiada tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan mudharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang mengawasi kita. Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera meninggalkannya.

Ya Allah, Al-Bashir
Kami malu jika Kau beberkan yang Kau lihat pada diriku
Kami takut jika Kau balas yang Kau lihat padaku
Ya Bashir, berilah kami mata batin agar kami dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Mu,
agar kami senantiasa memuliakan dan mengagungkan-Mu.

As-Sami' Yang Maha Mendengar

Posted by "Asmaul Husna" Sunday, April 7, 2013 0 comments
Semua ucapan, pikiran, desiran daun dan segala gerak-gerik makhluk tak luput dari jangkauanNya, semua terdengar dengan jelas meski terkadang ada yang menyembunyikan
Allahlah yang mendengar semua yang terucap, terlintas dalam pikiran dan akal, apa yang dirasakan dalam hati. Gemericiknya air, gemerisiknya dedaunan kala ditiup angin, bahkan bunyi jejak langkah kaki semut Allah mendengarnya dengan jelas. As-Sami’ Yang Maha Mendengar, adalah sifat kesempurnaan karena lawan katanya tuli, sebagai sifat kekurangan.

Ada dua tingkat kesempurnaan yang relatif dan mutlak. Kesempurnaan mutlak tidak bergantung pada alat, keadaan, atau batasan. Sedangkan kesempurnaan yang relative tergantung pada alat, keadaan dan tebatas.
Alam semesta sejak penciptaan awal hingga akhir dari satu sisi ke sisi yang lain tanpa terputus, segala bunyi dan suara selalu mengiringi penciptaan ini. suara ini terkadang ada yang mampu didengar oleh manusia, sebagaimana halnya suara ledakan keras, ada pula yang tidak terdengar oleh pendengaran manusia.

Suara ini tidak ada yang hilang dari catatan As-Sami’ dalam buku besar yang tersimpan dalam lauhul mahfudz. Semua suara dan bunyi dari makhluk di alam semesta terjejak dengan rapi, penuh makna. Jika suara ini adalah pertanyaan, maka Allah menjawabnya, jika sebuah tuntutan, maka akan dipenuhiNya, jika ini adalah sebuah salah, maka akan ditunjukkan jalan kebenaran olehNya.

Allah Maha mendengar segala keluh, gundah, kegelisahan, dan kehampaan kita. Hanya dengan isyarat dalam hati Allah mampu mendengar. Tak perlu kita melenguhkan suara kita untuk memohon kasihNya. Hanya dengan ungkapan air mata, Allah sudah memahami apa yang kita inginkan.

Allah dengan sengaja menciptakan dua telinga untuk kita, agar kita lebih banyak mendengar suara-suara di sekeliling kita. Mendengar suara rintihan kaum papa yang mengharap pertolongan sesama. Mendengar nasihat-nasihat yang datang dari berbagai penjuru arah untuk memaknai kebesaran As-Sami’, mencintai sifat-sifatNya yang sempurna.

Ini semua merupakan bukti, bahwa Allah ada di sekeliling kita dengan segala jejak yang ditinggalkanNya melaui suara-suara hidayah alam. Sehingga kita bisa menyadari, menemukan dan mencintaiNya dimanapun kita berada.

Di saat kita merasa hampa dan tiada berdaya, hanya Allah mampu mendengar apa isi hati kita. Segala yang tak terucap dari lisan, Allah tahu dengan sejelas-jelasnya. Allah tidak akan pernah bosan mendengar segala pinta dan asa kita.

Maha MendengarNya, tidak hanya di alam nyata, di alam ghaib Allah menguasaiNya. Sebagaimana firmanNya dalam surat Al-An’am 59, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (Q.S. Al-An’am 59)

Menyebut asma As-Sami dalam setiap dzikir kita semakin menambah kedekatan kita kepadaNya. Memuja sifat dan mengamalkan dalam kehidupan akan membawa kita kepada kepekaan untuk lebih memahami kekuasaaNya.

Pernahkah kita mendengar detak jantung yang memompa darah kita setiap harinya? Atau suara helaian nafas yang keluar dari rongga dada ini? Begitu pun dengan desir aliran darah yang menjalari? Semua anggota tubuh kita, tiada berhenti memujanya. Hanya keterbatasan pendengaran kita yang membuat segalanya menjadi kabur tertutup oleh hijab kekhilafan kita.

Allah dalam hadis qudsi mengungkapkan, “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan terus menerus bersikapa taat kecuali Aku akan mencintaiNya dan jika Aku mencintaiNya, maka Aku akan menjadi telinganya  yang dengannya dia mendengar dan menjadi lidahnya yang dengannya dia berbicara dan menjadi tangannya yang dengannya dia menggenggam.”

Semoga pendengaran kita semakin mengasah kepekaan kita untuk merasakan keindahan semesta dan penciptaNya.

Al Mudzillu (Yang Maha Menghinakan)

Posted by "Asmaul Husna" Saturday, April 6, 2013 0 comments

Lafal Al-Mudzillu mempunyai arti atau mengandung makna bahwa Allah Subhanahu Wata'ala, adalah Dzat yang menundukkan orang yang dikehendaki-Nya dengan jalan menghinakannya. Berakhlak dengan kedua ism ini mengharuskan seseorang agar memuliakan kepada siapa yang diperintahkan supaya dimuliakan dan menghinakan kepada siapa yang diperintahkan supaya dihinakan. 

Khasiatnya Ism Al-Mudzillu menurut beberapa pendapat jika dibaca sebanyak tujuh puluh lima kali kemudian ia berdoa di dalam sujudnya, niscaya ia akan bebas dari dalam penjaranya dan akan selamat dari gangguan orang-orang yang dengki dan aniaya.

Al Mudzill secara bahasa berarti menimpakan kehinaan. Allah Al Mudzill, artinya Allah menghinakan siapa saja yang Dia kehendaki menurut hikmah kebijaksanaan-Nya. Misalnya, Allah menghinakan orang-orang musyrik, kafir, dan munafik karena kedurhakaan mereka.

Allah memiliki otoritas untuk memuliakan dan menghinakan hamba-Nya. Seorang hamba dimuliakan karena amalnya, demikian juga hamba yang lain dihinakan karena perbuatannya. Allah memuliakan dan menghinakan hamba-Nya atas dasar ilmu juga keadilan-Nya. Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya, tetapi hamba itulah yang mendzalimi dirinya sendiri.

"Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." [Q.S. Ali 'Imran: 26]

Seorang muslim yang memahami Asma Allah yang satu ini senantiasa waspada dan hati-hati, sebab bisa jadi kehormatan dan kemuliaan yang kini disandangnya menjadi batu ujian yang justru bisa membalikkan posisinya.

Jika saat ini diberi amanah harta dan kekayaan, ia tidak bangga apalagi menyombongkan diri. Ia tetap tawadhu (rendah hati) sekalipun kekayaannya melimpah, anak buahnya banyak, dan orang lain memberi penghormatan karena kebaikan dan kedermawanannya. Ia sadar bahwa harta dan kekayaannya adalah amanah dan titipan Allah agar ia mampu membagikan kesejahteraan kepada yang lain. Ia menyadari bahwa dirinya hanyalah perantara untuk menyejahterakan kaum fakir dan miskin.

Seorang Muslim yang menyadari hakikat Asma Allah, Al-Mudzil senantiasa hati-hati dalam menggunakan harta kekayaannya. Ia tidak semena-mena membelanjakannya, apalagi untuk kemaksiatan. Sebaliknya, seluruh hartanya hanya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menyantuni fakir miskin, keperluan dakwah dan jihad fi sabilillah.

Pangkat dan jabatan tak jarang menjadikan manusia lupa diri. Dengan pakaian seragam militer, polisi, dokter, atau kepegawaian, kadang seseorang merasa terhormat. Apalagi jika di pundaknya atau di dadanya terselip simbol-simbol tertentu. Tiba-tiba timbul dalam dirinya keinginan untuk dihormati dan dihargai. Ia merasa lebih dari yang lain. Hatinya merasa terkoyak bila ada orang yang tidak memedulikannya.

Di dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa orang-orang yang menjauhkan diri dari Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya akan ditimpakan kehinaan. Salah satu dari mereka adalah orang-orang Yahudi, sebagaimana diceritakan dalam Al Qur'an, "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan." [Q.S. Ali 'Imran: 112]

"Adapun orang-orang yang berbuat kejahatan (akan mendapat) balasan kejahatan yang setimpal dan mereka diselubungi kehinaan..." [Q.S. Yunus: 27]

Untuk lebih menghayati Asma Allah, Al-Mudzil, berikut ini kami kutipkan hadits qudsy dalam kitab Al-Ghazali. Allah berfirman,

“Wahai manusia! Wahai budak-budak uang! Aku menjadikan uang agar engkau dapat menikmati rizki-Ku, mengenakan pakaian-Ku, dan agar kalian semua bertasbih dan menyucikan diri-Ku. Tetapi ternyata kalian mengambil kitab suci-Ku, lalu engkau letakkan di belakangmu dan engkau mengambil uang lalu engkau letakkan di atas kepalamu. Kau agung-agungkan rumahmu dan kau remehkan rumah-Ku. Sungguh engkau bukanlah manusia pilihan, bukan orang-orang yang merdeka. Tapi engkau adalah para budak dunia. Sekumpulan manusia sepertimu laksana kuburan yang dibangun dengan tembok. Sepintas dari luar tampak cantik molek, tetapi di dalamnya jelek. Begitu pula dengan sikapmu, sepintas kalian berbuat baik, simpatik, dan penuh kasih kepada orang lain dengan mulutmu yang manis dan perbuatanmu yang manis memikat, tetapi sesungguhnya hatimu keras dan kasar, serta budi pekertimu sangat nista. Wahai manusia! Bersihkan perbuatanmu dari noda, lalu mintalah kepada-Ku. Sungguh Aku memberi kepadamu lebih banyak lagi dari apa yang dimintakan para peminta.”

Akhirnya, marilah kita berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat. Sungguh Engkau tidak pernah mengingkari janji. [Q.S. Ali 'Imran: 194]

Al Mu'izzu

Posted by "Asmaul Husna" Friday, April 5, 2013 0 comments

AL MU'IZZU (Dzat Yang Maha Memuliakan)  


Menurut sebagian pendapat Asma' ini jika diamalkan oleh seorang pemimpin, baik pemimpin disebuah kantor maupun tokoh masyarakat, insya Allah akan mendapatkan kewibawaan yang dapat menunjang kedudukannya. Hendaklah membiasakan membaca "Ya Mu'izzu" setiap harinya dengan bilangan tertentu tapi tidak terbatas dan kontinue.
Apabila kemudian dengan kekuasaan yang Allah berikan membuat seseorang berakhlak buruk karena tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka Allah akan menghinakannya. Sebagai contohnya seorang pimpinan yang mementingkan dirinya sendiri, bertindak sewenang-wenang dan tidak perduli dengan bawahannya. Maka akan dimasukkan kedalam hati setiap bawahannya rasa tidak suka dan memandang hina kepada pimpinan tersebut. Begitu juga sebaliknya apabila seseorang dapat mengendalikan hawa nafsunya dan membuatnya berakhlak mulia, maka Allah akan memuliakannya.

Dengan kata lain apabila seseorang bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka Allah akan memuliakanya. Begitupun sebaliknya apabila seseorang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, sehingga hawa nafsunya yang selalu ia ikuti, maka Allah akan menghinakannya. Dan hal ini hanya berlaku bagi orang-orang yang diinginkan Allah untuk diselamatkan.

Apabila Allah ingin memuliakan seseorang Dia tidak memandang status sosial. Oleh karena itu carilah kemuliaan dimata Allah Subhanahu Wata'ala, pasti kita akan mulia dimata manusia. Janganlah mencari kemuliaan dimata manusia, karena kita akan hina dimata Allah juga dimata manusia. Asma’ Allah ini hanyalah instrumen untuk menyelamatkan akidah bagi hambanya yang diberi karunia kekuasaan, minimal kekuasaan didalam hatinya.

Pada dasarnya setiap manusia telah diilhamkan fasik dan taqwa kedalam hatinya. Oleh karena itu apabila seseorang memilih jalan ketaqwaan akan dimuliakan oleh Allah, begitupun sebaliknya apabila memilih jalan kefasikan akan dihinakan oleh Allah.

Masalah hawa nafsu harus benar-benar kita perhatikan, karena hawa nafsu inilah yang bisa menjerumuskan manusia. Apabila seseorang sudah menjadi fasik (selalu mengikuti hawa nafsu), maka syetan akan menggiringnya menjadi kafir, musyrik dan munafiq.

Apabila dalam hidup ini kita selalu memperturutkan hawa nafsu, seperti mengejar kekuasaan, ilmu dan harta sebanyak-banyaknya untuk kehidupan dunia (kepuasan nafsu), akan tetapi kita justru dimuliakan dan disanjung oleh orang banyak, maka seharusnya kita menjadi takut. Jangan-jangan kita termasuk orang-orang yang dibiarkan Allah dalam kesesatan. Karena hukum Allah apabila seseorang mengikuti hawa nafsu akan direndahkan, tetapi kenapa kita justru dimuliakan dan disanjung orang banyak ? Seharusnya kita bertanya pada diri sendiri kenapa hukum Allah tidak berlaku pada diri kita ?

Didalam hidup ini banyak sekali orang-orang berlomba-lomba mencari harta, ilmu dan kekuasaan. Dan tujuan mencari semua itu agar mereka diakui keberadaannya, ingin dikatakan kaya, mulia, besar dan lain sebagainya. Padahal itu semua adalah hak Allah Ta'ala, dan barang siapa yang merampas hak Allah Ta'ala akan dimasukkan kedalam neraka.

Oleh sebab itu agama Islam tidak membedakan antara orang kaya dan orang miskin, orang terhormat dan tidak terhormat. Karena yang membedakan kemuliaan seseorang disisi Allah Ta'ala adalah ketaqwaannya. Yang dinamakan taqwa adalah menjalankan segala perintah Allah Ta'ala dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan yang menghalangi manusia tidak mau menjalankan ketaqwaan adalah hawa nafsu.

Ar Rafi'u

Posted by "Asmaul Husna" Thursday, April 4, 2013 1 comments

Ar-Rafi’ berasal dari kata ra-fa-’a yang artinya meninggikan, sedang arti Ar-Raafi’ sendiri adalah Yang Maha Tinggi. Allah adalah wujud yang Maha Tinggi, bahkan Dia adalah setinggi-tinggi wujud dalam segala sifat keagungan-Nya.

Dalam al-Qur’an bisa dijumpai beberapa ayat yang menjelaskan tentang ”kesibukan” Tuhan dalam meninggikan derajat nabi dan para wali (kekasih)-Nya. Di antaranya adalah Nabi Isa as yang telah diwafatkan dan kemudian ditinggikan derajatnya oleh Allah swt di sisi-Nya, setelah di dunia dihinakan oleh ummatnya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan meninggikanmu”. (Ali Imraan: 55)

Nabi Muhammad termasuk disebut dalam al-Qur’an sebagai orang yang ditinggikan sebutan (derajatnya). Nama beliau tidak saja digandengkan dengan nama-Nya dalam dua kalimah syahadat, tapi namanya senantiasa disebut-sebut dalam setiap shalawat. Sekalipun beliau sudah wafat 14 abad yang lampau, namanya tetap harum dan paling banyak disebut dan diucapkan manusia sampai hari kiamat.

Tak sedikit orang yang semasa hidupnya tidak banyak disebut orang, bahkan oleh para musuh politiknya dikategorikan sebagai pengkhianat negara, tapi setelah wafat sekian lamanya, namanya direhabilitasi. Orang menyebutnya kembali sebagai pahlawan. Pikiran-pikirannya muncul kembali menjadi ruh dalam menyemangati perjuangan dan idealisme.

Dia-lah Allah yang tidak pernah lepas memperhatikan satu per satu hamba-hamba-Nya, memperhitungkan, sekaligus memberi hukuman dan penghargaan. Orang-orang yang mengukir prestasi semasa hidupnya di dunia ini tak perlu khawatir perbuatannya sia-sia. Lambat atau cepat prestasi itu akan diperlihatkan dan dihargai. Bisa jadi penghargaan itu diberikan pada saat dia masih hidup, mungkin juga diberikan saat sudah mati. Namanya dikenang banyak orang, dijadikan teladan, dijadikan sumber inspirasi, dan ditulis dalam catatan sejarah dengan tinta emas.

Pahlawan Uhud adalah contoh kongkret tentang orang-orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Dalam hadits qudsiy Allah berfirman: “Ketika kawan-kawanmu mendapat musibah dalam Perang Uhud, Allah SWT memindahkan ruh-ruh mereka itu ke dalam burung-burung hijau yang menghinggapi sungai-sungai surga sambil memakan buah-buahannya dan kemudian berlindung ke lampu-lampu emas yang bergantungan di bawah naungan Arsy. Tatkala mereka merasakan nikmatnya tempat peristirahatan mereka di surga itu, berkatalah mereka: siapakah gerangan yang akan menyampaikan kepada kawan-kawan kami tentang hal ihwal diri kami yang hidup bahagia di surga, agar mereka tidak meninggalkan jihad dan agar mereka tidak licik meninggalkan medan perang? Allah menjawab: Akulah yang akan menyampaikan kepada mereka perihal diri kamu semua.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan Ibnu Abbas)

Jika kita ingin meneladani Allah dalam sifat Ar-Raafi’ ini, maka kita harus berusaha keras untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta membela hamba-hamba Allah yang memperjuangkannya.

Al Khaafid

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments

Al-Khaafidh berasal dari kata kerja kha-fa-dha, yang berarti merendahkan. Dalam al-Qur’an tidak didapati satu ayat pun yang secara langsung menyebut nama Al-Khaafidh. Meskipun demikian, ditemukan turunan kata itu dalam beberapa ayat, misalnya dalam surat Al-Waqi’ah: 3 yang menggambarkan hari kiamat sebagai ”Khaafidhatur-Raafi’ah”, (pada hari itu Allah ”merendahkan dan meninggikan” derajat manusia). Ada manusia yang saat di dunia memiliki tempat dan kedudukan yang tinggi di depan manusia, tapi oleh Allah pada hari kiamat justru direndahkannya. Sebaliknya, ada yang dalam kehidupan dunianya direndahkan oleh manusia, sementara Allah pada hari itu justru meninggikan derajatnya.

Suatu hari Rasulullah ditanya tentang arti firman ”Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman: 29), beliau menjawab: ”Termasuk kesibukan-Nya adalah mengampuni dosa, menghilangkan keresahan, meninggikan kelompok-kelompok manusia, dan merendahkan yang lain”. (HR. Ibnu Majah)

Dari hadits di atas, kita bisa menangkap makna bahwa Allah swt tidak pernah berhenti beraktifitas. Dia senantiasa sibuk, selain menjaga rotasi alam, juga mengatur kehidupan makhluk istimewa-Nya yang bernama manusia. Dia memberi ampunan pada siapa saja yang bertaubat kepada-Nya, menghilangkan kegelisahan orang-orang yang stres, meninggikan orang yang berprestasi, dan merendahkan manusia dengan berbagai sanksi sosial, moral, dan hukum.

Al-Qur’anul Karim telah menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan kejatuhan, kebangkitan, dan ketinggian.  

Berikut ini adalah salah satu ayat yang menjelaskan tentang hukum tersebut:

”Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam kesempurnaan ciptaan, kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (QS. At-Tiin: 5)

Al-Qur’an sangat cermat memilih kata, dipilihnya kata ”Kami” untuk menggambarkan keterlibatan manusia dalam ketinggian dan kerendahan derajatnya. Jika manusia mengoptimalkan fungsi ruh Ilahi –yang dalam al-Qur’an digunakan istilah ”Min Ruuhiy”— untuk mengangkat derajatnya ke tingkat ”ahsanu taqwiim, maka tinggilah derajat kemanusiaannya. Sebaliknya, jika manusia melepaskan diri dari daya tarik ruhnya dan mengikuti daya tarik bumi (gravitasi) sebagaimana makhluk binatang yang hidupnya hanya diperuntukkan bagi pemenuhan makan, minum, dan hubungan seksual semata, maka ia akan meluncur jatuh ke tingkat yang serendah-rendahnya.

Al-Qurthubi dalam al-Asmaul Husna meng­ingatkan: ”Ketahuilah bahwa yang direndahkan Allah adalah manusia yang terhindar dari taufiq dan pertolongan-Nya, yang diperintah oleh nafsunya, yang tidak memperoleh kebajikan dari Tuhannya. Apabila berusaha kembali kepada-Nya, ia tidak mendapatkan bisikan hati tentang kekuasaan-Nya. Apabila berusaha mendengar bisikan-bisikan hatinya, ia tidak meraih percaya diri atau kelezatan dalam bermunajat dengan-Nya”.

Untuk menjaga keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di muka bumi, Allah swt menerapkan hukum ”reward and punishment”. Hadiah diberikan kepada mereka yang berprestasi, sedang hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar aturan. Bisa jadi reward and punishment itu tidak diberikan semasa hidup di dunia ini, tapi yang pasti di akhirat nanti semua orang akan mendapat hadiah dan sanksi. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih akan diangkat derajatnya dengan mendapat kedudukan yang tinggi (surga), sedangkan mereka yang kafir, musyrik, dan munafiq akan diberi sanksi dengan hukuman neraka jahim. Allah menghinakan siapa saja yang layak mendapatkan kehinaan akibat perbuatannya.

Al Baasith

Posted by "Asmaul Husna" Tuesday, April 2, 2013 0 comments
"Allah melapangkan rizki bagi siapa saja yang dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia pula yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Ankabuut: 62)  

Al-Baasith adalah nama Allah yang menyertai bahkan tak terpisahkan dengan nama sebelumnya, yaitu Al-Qaabidh. Jika Al-Qaabidh bermakna menyempitkan, maka Al-Baasith berarti sebaliknya, Maha Melapangkan. Kata al-Baasith sendiri berasal dari ba-sa-tha yang berarti keterhamparan, kemudian dikembangkan menjadi “memperluas” atau ”melapangkan”.

Adalah hak absolut Allah untuk melapangkan atau menyempitkan rizki hamba-hamba-Nya, sebagaimana pula hak absolutNya memperpanjang dan memperpendek umur mereka. Sebagian orang dimudahkan mendapat rizki sehingga harta kekayaannya melimpah, sebagian yang lain disempitkan rizkinya sehingga hidupnya pas-pasan atau malah kekurangan. Dialah yang mengetahui rahasia di balik pembagian rizki yang tidak merata.

Sebagian dari rahasia itu dibuka oleh Allah dalam firman-Nya: ”Dan jika Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 27)

Ayat di atas mengandung pesan yang tegas, bahwa terhadap distribusi rizki yang tidak merata itu jangan disikapi dengan suudzan, berburuk sangka seolah-olah Allah tidak adil kepada hamba-hamba-Nya. Pesan itu menjadi semakin terang setelah Allah menutup ayat di atas dengan menyatakan bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat.

Sikap negatif lain yang harus dihindari adalah iri hati atau hasad. Sudah merupakan sunnah-Nya bahwa ada sebagian diberi kelebihan rizki dibandingkan yang lain. Allah berfirman:

”Dan jangalah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisaa: 32)

Kita hendaknya lapang dada menerima perbedaan tersebut, sembari terus berusaha keras dan cerdas untuk mengais rizki-Nya. Hari ini mungkin  Allah menyempitkan, tapi siapa tahu justru besok Allah akan melapangkan. Semua itu adalah rahasia-Nya. Bagi kita, yang penting adalah ikhtiar dan berdo’a.

”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari sebagian rizki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15)

Bagi mereka yang dilapangkan rizkinya, hendaknya senantiasa menyadari bahwa rizki itu amanah dan titipan Allah. Kekayaan, jabatan, popularitas, dan kedudukan yang tinggi jangan menjadikan lupa diri, sombong, dan takabbur. Jangan seperti orang yang disebut dalam ayat di bawah ini:

”Jika kami memberi kesenangan kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri, dan bila ia ditimpa kemalangan, ia berdo’a berpanjang-panjang.” (QS. Fushshilat: 51)

”Bila Kami rasakan kepadanya suatu rahmat dari Kami sendiri, setelah ada kemalangan menimpanya, pasti ia berkata: Ini karena usahaku sendiri, dan aku tak yakin akan terjadi hari kiamat.” (QS. Fushshilat 50)

Kaum Muslimin yang menyadari dan berusaha mencontoh nama dan sifat-Nya Al-Baasith, akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi kelapangan kepada siapa saja yang membutuhkannya. Kekayaan yang diberikan Allah tidak digunakan untuk kesenangan dirinya sendiri, tetapi didistribusikan kepada masyarakat sekitarnya, terutama terhadap fakir miskin dan para mustadh’afiin. Mereka sadar bahwa di dalam hartanya ada hak mereka yang harus dikeluarkan.

Akhirnya, marilah kita menyikapi kelapangan rizki itu sebagaimana sikap Nabi Sulaiman yang senantiasa berdo’a:

”Tuhanku! Berilah aku kesempatan untuk berterimakasih atas nikmat-Mu yang Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat mengerjakan perbuatan yang baik yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam hamba-hamba-Mu yang shaleh”. (QS. An-Naml: 19)    

Al Qaabidh

Posted by "Asmaul Husna" Monday, April 1, 2013 0 comments

Sebagian Ulama Islam menganggap kurang etis menyebut Asma Allah Al-Qaabidh tanpa kemudian menyandingkannya dengan Asma Al-Baasith. Menurut mereka, kesempurnaan Allah terletak pada kekuasaan-Nya untuk menahan dan melepas, menyempitkan sekaligus melapangkan. Mereka sangat khawatir jika Al-Qaabidh tidak disandingkan dengan Al-Baasith akan timbul kesan negatif pada citra Allah. Akan tetapi sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa boleh-boleh saja menyebut Al-Qaabidh tanpa menyertakan Al-Baasith asal tidak disalah artikan.

Siapa yang bisa menyalahkan Allah ketika menyempitkan rizki seseorang ? Siapa yang bisa menegatifkan citra Allah ketika memendekkan umur hamba-Nya ? Di balik semua kebijakan-Nya terdapat hikmah yang Dia sendiri mengetahui-Nya, sedangkan manusia baru bisa mengambil hikmahnya setelah peristiwanya berlalu.

Al-Qaabidh diambil dari akar kata yang makna awalnya adalah “sesuatu yang diambil” atau “keterhimpunan pada sesuatu”. Makna dasar ini kemudian berkembang sehingga melahirkan makna baru, seperti: menahan, menggenggam, menghalangi, dan menyempitkan. Istilah Al-Qaabidh sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an sebagai sifat dan asma Allah, kecuali hanya dijumpai dalam bentuk kata kerja yang pelakunya adalah Allah swt, sebagaimana ayat berikut:

“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sekalipun kata Al-Qaabidh tidak di­jumpai dalam Al-Qur’an, tapi kita bisa menemukannya dalam berbagai riwayat hadits, di antaranya menjelaskan tentang kekuasaan Allah menahan nya­wa hamba-hamba-Nya yang dike­hendaki. “Sesungguhnya Allah menahan nyawa (jiwa) kamu bila Dia menghendaki dan mengembalikannya jika Dia menghendaki”.

Dari uraian di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan untuk sementara bahwa Al-Qaabidh mengandung dua pengertian, yaitu menyempitkan rezeki dan memendekkan umur. Di tangan-Nya segala urusan rizki, dan di dalam genggaman-Nya pula soal nyawa makhluk-Nya. Ketika Dia menahan rizki milik-Nya atas seseorang, hendaklah ia tidak protes, sebab rizki itu milik-Nya dan hak-Nya Dia semata untuk membagikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, sikap yang baik adalah menerima dan meyakini akan kasih sayang-Nya. Keyakinan itu hendaknya diwujudkan dalam bentuk do’a dan ikhtiyar. Terus berusaha keras dan cerdas untuk memperolehnya, seraya tidak lupa memanjatkan do’a.

Bagi kita, mengenali sifat dan asma Allah Al-Qaabidh ini akan mendorong kita untuk berhati-hati menjalani hidup. Kita tidak akan main-main ketika diserahi titipan jabatan sebagai eksekutif, pengusaha, ulama, hakim, politisi, atau jabatan apapun, sebab bila Allah melihat sesuatu yang tidak beres atas perilaku hamba-hamba-Nya, maka Dia segera mengambil tindakan dengan dua tujuan, yaitu peringatan atau hukuman.

Ketika kita lalai menjalankan tugas atau menyelewengkan amanah karena khilaf, maka untuk memperbaikinya atau untuk mengembalikan kita pada “orbit” yang benar, Allah mengambil tindakan dengan menyempitkan gerak langkah kita melalui berbagai cara. Mulai dari menyempitkan rizki, memberikan rasa sakit, membatasi akses dan kesempatan, sampai pada menjadikan kita sesak dada dengan adanya berbagai tekanan dan himpitan permasalahan. Seorang yang arif ketika menghadapi situasi seperti ini segera menyadari bahwa itu semua adalah teguran Allah, kemudian meresponnya dengan kembali pada jalan yang benar sesuai kehendak-Nya.

Untuk itu kita diajarkan bermunajat kepada-Nya agar diberi hikmah kearifan, rabbi habli hukman (Tuhan, berilah aku hikmah kearifan) (QS. Asy-Syu’araa: 83). Dengan hikmah kearifan itu kita bisa menangkap berbagai bentuk “sinyal” peringatan Allah yang didatangkan kepada kita.

Adapun bagi mereka yang keras kepala atau hatinya telah mati, berbagai peringatan Allah tidak direspon secara positif. Mereka tetap berada di jalan yang sesat, sekalipun peringatan itu datangnya bertubi-tubi. Terhadap mereka ini sudah sepantasnya diberi hukuman.

Hikmah lain dari kesadaran kita terhadap Asma Allah Al-Qaabidh adalah penerimaan kita terhadap segala putusan Allah. Orang-orang yang arif akan memandang bahwa segala sesuatu yang telah diputuskan Allah pasti terbaik. Hal ini mengharuskan kita untuk “ridha”, menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Keridhaan itu merupakan manifestasi dari keyakinan kita kepada taqdir Ilahi. Dengan keridhaan itu, insya-Allah kita akan merasakan sekaligus menikmati lezatnya iman. Wallahu a’lam bish-shawab.

Popular Posts