Your Adsense Link 728 X 15

Al Khobir

Posted by "Asmaul Husna" Thursday, May 16, 2013 0 comments
"Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi Dia mencapai segala indera. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An’am: 103) 


Al-Khabir berasal dari akar kata kha-ba-ra, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kelemahlembutan. Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55 kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi yang digandengkan dengan Asma’ul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim al-Khabiir, Al-Lathiif al-Khabiir, Al-Khabiir al-Bashiir, dan Al-Aliim al-Khabiir.

Dalam Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Alim dengan Al-Khabir itu terjemahannya sama, yaitu Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan arti yang signifikan. Al-Alim mencakup pengetahuan Allah tentang sesuatu dari sisi-Nya, sementara Al-Khabir adalah pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu yang diketahui. Jika yang pertama (Al-Alim) tekanannya lebih kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabir) justru yang menjadi titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, di mana manusia tidak bisa mengetahui secara pasti, maka rangkaian sifat Allah yang digunakan untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut ini: “Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Demikian juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang hanya Dia yang mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Alii al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Lain halnya ketika al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat atau adzab, rangkaian kata yaang dipakai adalah Al-Hakiim al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata. Jika Allah menimpakan suatu?kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 16-18).

Rangkaian kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku makhluq-Nya yang menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman: “Segala puji bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan di bumi; bagi-Nya segala puji di akherat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS. Saba: 1-2).

Pasangan lainnya adalah Al-Lathiif al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sangat rahasia, sehingga indera biasa tak bakal mengetahuinya. Allah berfirman: “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am: 103).

Rangkaian terakhir adalah Al-Khabiir al-Bashiir, yang dipakai al-Qur’an untuk menggambarkan pe­ngetahuan Allah tentang segala kebutuhan hamba-hamba-Nya. Allah berfirman: “Sekiranya Allah me­lapangkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya sesuai dengan ukuran yang di­kehendaki-Nya; terhadap hamba-hamba-Nya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).

Tiada daun kering yang jatuh dari tangkainya, kemudian ditiup angin sehingga di bumi mana jatuhnya, kecuali Dia mengetahuinya. Tiada semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang kelam, kecuali Dia pula yang mengetahuinya. Kedipan mata, degupan jantung, dan kehendak dalam hati, diketahui-Nya pula. Lalu ke mana kita bisa menghindar dari pantauan-Nya? (Hamim Thohari)

* Disalin dari Majalah Nebula (ESQ Magazine) Edisi 05/Tahun III/April 2007

Asmaul Husna (Al-Latif)

Posted by "Asmaul Husna" 8 comments

Kata Al Lathif  berasal dari akar kata la-tha-fa, yang bermakna lembut, halus, atau kecil. Az-Zajjaj, pakar bahasa Arab dalam tafsir Asma’ul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai ul Husna mengartikan Al-Lathif sebagai “yang mencapai tujuannya dengan cara yang sangat tersembunyi atau tak terduga.”

Predikat Al Lathif  memang pantas disandang Allah, dan hanya Dia yang pantas menyandangnya. Setidak-tidaknya, ada tiga alasan mengapa Dia disebut Al Lathif :

Pertama, Dia melimpahkan karunia kepada hamba-hambaNya secara tersembunyi dan rahasia, tanpa diketahui oleh mereka. Ketika Dia menyatukan dua insan berlainan jenis dalam mahligai rumahtangga, tak seorang pun tahu dari mana datangnya cinta. Begitu halus, begitu lembut, sehingga orang yang dikaruniainya tak juga mengetahuinya. Demikian pula anugerah rizki yang lain, semua serba halus dan tersembunyi. Al-Ghazali memberi catatan khusus di sini, ketika ia menggambarkan betapa Maha Halusnya Allah. Ia mengangkat contoh janin, bagaimana Allah memelihara janin ibu dan melindunginya dalam tiga masa kegelapan, yaitu kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Betapa Mahahalusnya Dia ketika memberi makan janin melalui pusar sampai ia lahir dan mengilhaminya menyusu kepada ibunya tanpa ada yang pernah mengajarinya. Gigi-gigi bayi ketika itu belum ditumbuhkan agar si Ibu tidak kesakitan ketika anaknya menyusu. Siapakah yang menahan tumbuhnya gigi bayi? Semuanya serba halus, lembut, dan nyaris tidak ada yang mengetahuinya.

Kedua, Dia menghamparkan alam raya ini untuk makhlukNya. Allah memberi kepada semua makhlukNya melebihi yang diminta. Kita tidak pernah minta hidup di dunia ini, tapi Dia menganugerahi kehidupan. Kita tidak pernah ingin dijadikan manusia, tapi Allah menakdirkan kita menjadi manusia. Kita tidak pernah minta bisa berbicara, tapi Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara. Dia telah memberi sebelum diminta. Di sisi lain, Dia tidak pernah menuntut balas, juga tidak memberi beban melebihi kemampuan makhlukNya. Adakah yang lebih santun dari Dia?

Ketiga, Dia berkeinginan agar semua makhlukNya mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan. Dia tidak ingin makhlukNya mendapati kesulitan. Al-Qur’an bertutur: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kalian dalam kesulitan.”

Itulah sebabnya, Allah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana kehidupan dan memberi kemudahan kepada manusia untuk mendapatkannya. Allah melengkapi makhlukNya dengan berbagai indera, selain naluri yang bersifat alamiah. Khusus untuk manusia, Allah mengaruniakan akal pikiran dan hati nurani. Dua sarana yang dikaruniakan Allah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.

Al `Adl Yang Maha Adil

Posted by "Asmaul Husna" Saturday, May 11, 2013 0 comments




Keadilannya bersifat mutlak. Keadilan adalah lawan kezaliman. Kezaliman menyebabkan penderitaan, kerusakan, dan rasa sakit hati, sedangkan keadilan menjamin kedamaian, keseimbangan, keteraturan, dan keselarasan. Alloh Yang Maha Adil adalah musuh orang-orang zalim : Dia membenci orang-orang yang mendukung kaum zalim maupun sahabat, simpatisan, dan rekan-rekan mereka. Di dalam Islam, apa pun bentuk kezaliman diharamkan. Adil adalah kemuliaan dan pertanda kebaikan seorang muslim.


Dua hal yang berlawanan ini  keadilan dan kezaliman  mempunyai implikasi yang luas dan lebih penting daripada hanya sekedar akibat-akibat moral dan sosial belaka. Keduanya setara dengan keselarasan lawan ketidakselarasan, keteraturan lawan kekacauan, benar lawan salah. Jika dalam mengungkapkan kedermawanannya seseorang memberikan uang kepada orang kaya, memberikan pedang kepada para ilmuwan, dan memberikan buku kepada tentara, maka dalam hal tertentu dia dianggap zalim, karena pedang hanya cocok bagi tentara, buku bagi para ilmuwan, dan si miskinlah yang membutuhkan uang. Akan tetapi, jika Alloh berbuat hal yang sama maka tindakan-Nya itu adil, karena Dia melihat segala, yang terdahulu dan yang terkemudian, yang zahir dan yang batin. Dialah Yang Maha Mengetahui , Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Keadilan Yang Mutlak. Dia menciptakan sebagian indah dan sebagian yang lain jelek, sebagian kuat dan yang lainnya lemah. Lalu Dia membuat yang indah menjadi jelek, yang kuat menjadi lemah, yang kaya menjadi miskin, yang bijaksana menjadi bodoh, yang sehat menjadi sakit. Semuanya adil. Semuanya benar.

Tampak bagi sebagian kita adalah tidak adil bahwa ada orang yang lumpuh, buta, tuli, kelaparan, gila, dan bahwa ada anak muda yang mati.

Alloh adalah Pencipta segala keindahan dan keburukan, kebaikan, dan kejahatan. Dalam hal ini ada rahasia yang sulit dimengerti. Tetapi setidak-tidaknya, kita memahami bahwa seringkali orang harus mengenal lawan kata dari sesuatu untuk memahaminya. Orang yang tidak pernah merasakan kesedihan, tidak akan mengenal kebahagiaan. Jika tidak ada yang buruk, kita tidak akan mengenal keindahan. Baik dan buruk sama pentingnya. Alloh menunjukkan yang satu dengan yang lain, yang benar dengan yang salah, dan menunjukkan kepada kita akibat dari masing-masingnya. Dia memperlihatkan pahala sebagai lawan kata dari siksaan. Lalu dipersilakan-Nya kita untuk menggunakan penilaian kita sendiri. Sesuai dengan takdirnya, masing-masing mendapatkan keselamatan dalam penderitaan dan rasa sakit, atau kutukan dalam kekayaan. Alloh mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. Hanya Alloh yang mengetahui nasib kita. Perwujudan dari nasib itu adalah keadilan-Nya.

Selain nama indah Alloh, al ‘Adl, kita harus bersyukur atas kebaikan, dan menerima, tanpa prasangka atau keluhan, apa pun nasib kita yang tampaknya kurang baik. Dengan demikian, mungkin rahasia keadilan Alloh akan terungkap kepada kita dan kita akan merasa berbahagia dengan kesenangan dan penderitaan yang berasal dari Sang Kekasih.

BAGIAN HAMBA

‘Abd Al ‘Adl orang yang pertama-tama memberlakukan terhadap dirinya sendiri apa yang ingin diberlakukannya kepada orang lain. Perbuatannya tak pernah didasarkan atas rasa marah, dendam, atau kepentingan diri sendiri : perbuatannya itu tak pernah merugikan orang lain. Dia bertindak dan berbuat sesuai dengan hukum Alloh. Tetapi orang seperti itu mengetahui bahwa keadilan Tuhan tidaklah seperti yang dibayangkan manusia. Dia memberikan hak-hak mereka sesuai dengan hak yang memang mereka miliki.
Manusia yang bermaksud meneladani sifat Alloh ini, setelah meyakini keadilan Ilahi, dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya (baca QS. An Nisa’ : 135) bahkan terhadap musuhnya sekalipun (baca QS. Al Maidah : 8).

Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri. Dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.

Jangan duga, tulis Alghozali  bahwa penganiayaan (lawan dari keadilan) adalah gangguan dan keadilan adalah memberi manfaat kepada manusia. Tidak! Bahkan seandainya seorang penguasa membuka dan membagi-bagikan isi gudang yang penuh dengan senjata, buku, dan harta benda, kemudian dia membagikan buku-buku kepada ulama, harta benda kepada hartawan dan senjata kepada tentara yang siap berperang, maka walau sang penguasa memberi manfaat kepada mereka tetapi dia tidak berlaku adil, dia menyimpang dari keadilan, karena dia menempatkannya bukan pada tempatnya. Sebaliknya kalau seseorang memaksa si sakit untuk meminum obat yang pahit sehingga mengganggunya, atau menjatuhkan hukuman mati atau cemeti kepada terpidana, — maka inipun walau menyakitkan, adalah keadilan, karena pada tempatnya, sakit dan gangguan itu ditempatkan.

Ya Alloh, Aku bermohon kiranya Engkau melindungi aku dari keadilan-Mu dengan kelemah lembutan dan kasih sayang-Mu. Ya Alloh Aku berlindung dengan kemurahan-Mu dari keadilan-Mu. Wahai Tuhan Yang Maha Adil lagi Maha lemah lembut , Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Wallohu a’lam bi showab.

Sang Penguasa Angin

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
Seringkali kita mendengar cerita tentang kisah Nabi Sulaiman dan kehebatannya. Baik itu dari orang tua, maupun guru ngaji kita. Dari semua cerita yang kita ketahui, betapa hebatnya Sang Nabi, yang dapat mengendalikan angin, memerintah jin, bahkan semua makhluk pun tunduk kepada perintahnya. 

Konon katanya, beliau dianugrahi Tuhan sebuah cincin, yang mana dari cincin inilah beliau dapat menguasai hingga memerintah semua makhluk. Setelah kepergian Sang Pemilik Cincin, tidak ada yang tahu pasti dimana pusaka kekuasaan itu berada. Berawal dari ramalan seorang pengemis tak bernama kepada salah seorang murid toriqoh, “Kau akan melakukan perjalanan panjang!” ucapnya tiba-tiba saat berada di masjid Haramus-Syarif. Istilah murid dalam thoriqah adalah darwis. Darwis tersebut bernama ishaq. Ia tak mengerti juga tak paham maksud dari pengemis itu.

Setelah kejadian itu, Ishaq terus kepikiran pada ramalan itu. Kegiatan hariannya ia lakukan seperti biasanya. Pada malam ke sekian, Sang Syaikh sedang berdongeng tentang keagungan Nabi Sulaiman, Sang Penguasa Angin. Para darwis khidmat menyimak tuturan dari Sang Syaikh kecuali Ishaq yang terus memikirkan kata-kata si pengemis. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu khaniqah (majelis pengajian) tersebut. Seorang Profesor, yang merupakan kawan lama Sang Syaikh, bersama anak perempuannya, dan seorang kapten datang ingin menemui Sang Syaikh. 

Sebuah silinder emas berhiaskan permata di tangannya yang berisi gulungan kertas papirus kuno berlambang Bintang Daudlah yang membawa mereka untuk ingin menemui Sang Syaikh. Gulungan papirus tersebut ditemukan oleh sang kapten dalam sebuah gua di padang pasir tempat sang kapten tersesat. Gulungan perkamen itu berisi tentang do’a dari pendeta zaman nabi sulaiman. Sang Syaikh pun menyuruh mereka mengungkap rahasia dibalik silinder emas itu. 

Dari penemuan inilah yang nantinya mengantarkan 7 murid sang Syaikh menempuh perjalanan panjang penuh badai, rumit, dan menegangkan. Ujung dari perkamen tersebut bermuara pada artefak terbesar dalam sejarah zaman kuno; Cincin Nabi Sulaiman. Sebuah cincin bergambar hexagon, segel nabi sulaiman, yang bisa membuat angin, jin, binatang dan bahkan seluruh makhluk hidup akan tunduk dan taat kepada perintah pemakainya. Ishaq, ditunjuk sebagai juru tulis perjalanan, bersama dua orang darwis lainnya Ali dan Rami. Mereka diutus untuk ikut dalam ekspedisi tersebut. Ekspedisi yang kelak akan membentuk kepribadian mereka. Perjalanan mereka dipandu oleh seorang sufi yang manguasai ilmu Nabi Khidir. Ia adalah pengemis yang meramal Ishaq di masjid haramus-syarif. 

Perjalanan itu tidak seperti yang mereka sangka. Mereka akan terdampar di sebuah tempat misterius yang belum pernah ada di dunia nyata. Tempat yang sangat jauh dan tidak semua orang dapat mengetahui tempat tersebut. Nama tempat tersebut Jinnistan, kerajaan Jin yang dibangun oleh Raja Sulaiman sebagai hadiah untuk Ratu Sheba, itulah tempat tujuan akhir mereka. Dalam perjalanan menuju jinnistan mereka dikepung badai pasir dan terdampar di reruntuhan istana kuno yang tak diketahui secara jelas identitasnya. Mereka menemukan semacam altar yang terdiri dari empat buah pintu yang menghadap persis kepada empat arah mata angin. 

Di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur tua bergambar segel Sang penguasa angin. Dari sanalah mereka mulai memasuki Jinnistan dan bertemu dengan Sang Raja Jin, Baalzeboul. Irving Karchmar, penulis buku, seorang darwis yang dulunya seorang yahudi yang kemudian menjadi muslim dan berbaiat pada Tarekat Ni’matullahi, menyajikan sebuah novel spiritual dengan latar kehidupan sufistik, yang telah diterjemahkan dalam 7 bahasa. Dari judul di atas memang sekilas novel ini nampak mengandung cerita mistis. Namun sebenarnya inti dari kisahnya bukanlah kisah mistis dan jalan ceritanya pun tidak bernada horror. Di sini, Karchmar menggambarkan adat kehidupan Tarekat Sufi gaya Persia mulai dari tatakrama, kehidupan sosial bermasyarakat, romantisme antara mursyid dengan para darwis, dan sisi spiritual pribadi sendiri.

Ketegangan perjalanan tidak berhenti sampai disini. Masih ada tantangan yang akan mereka hadapi ketika memasuki Jinnistan. Tanpa diketahui ternyata para jin pun menaruh harapan terhadap mereka, agar bisa membebaskan mereka dari dosa kekafiran. Apakah mereka berhasil melakukan petualangan panjangnya? Benarkah cincin nabi sulaiman itu ada? Lantas siapa yang menyimpan pusaka tersebut nantinya? Semuanya tertera jelas penuh misteri dalam buku berjudul Sang Raja Jin, Petualangan Menemukan Cincin Nabi Sulaiman.

Al Hakam ( Yang Menetapkan Hukum )

Posted by "Asmaul Husna" Tuesday, April 16, 2013 0 comments

Al-Hakam berasal dari akar kata ha-ka-ma. Dari akar kata itu bisa berubah menjadi haakim dan hukm. Semua kata yang berasal dari pengembangan akar kata ha-ka-ma mempunyai makna yang sama, yaitu menghalangi. Itulah sebabnya, hukum dapat diartikan sebagai perangkat yang dapat menghalangi atau membatasi seseorang atau sekelompok orang dari tindakan yang melanggar.

Pengertian pertama Al-Hakam adalah bahwa Allah-lah yang Maha Memutuskan dan Menetapkan semua perkara. Segala yang terjadi di kolong langit dan di atas bumi adalah ketetapan-Nya. Kapan selembar daun mengering, kapan terlepas dari tangkainya, dan kapan pula jatuhnya ke bumi, Dia-lah yang menetapkan. Tiada Tuhan selain Allah, yang menetapkan segala sesuatu berdasar hukum-Nya.

Pengertian kedua, melalui Asma-Nya ini Allah menetapkan bahwa setiap individu manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Setiap individu menanggung sendiri dosa dan pahalanya. Anak tidak menanggung dosa bapaknya, demikian juga sebaliknya. Islam tidak mengenal dosa warisan, sebagaimana firman-Nya: “Dan bahwa setiap manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusakannya, dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepada-nya).” (An-Najm: 39-40).

Pengertian ketiga, sebagai Al-Hakam, Allah telah menetapkan kepastian hukum bagi hamba-Nya. Bagi yang berbakti akan diganjar dengan kebahagiaan, sebaliknya bagi yang durhaka akan dihukum dengan kesengsaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yanag penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Al-Infithar: 13 dan 14)

Pengertian keempat, Allah adalah Hakim Agung. Sebagai Hakim Agung, Allah tidak membutuhkan sesuatu, malah sebaliknya segala sesuatu membutuhkan-Nya. Dia tidak bisa dirayu, disogok, dan disuap. Di pengadilan Allah, semua perkara diputus dengan seadil-adilnya. Semua alat bukti dapat dihadirkan, bahkan Allah sendiri yang akan menjadi saksinya. Jangankan perbuatan yang terlihat, niat yang tersembunyi sekalipun dapat dilihat Allah swt. Di hadapan Allah, mana mungkin kita mengingkari atau sekadar menyembunyikannya?

Pengertian kelima, setiap keputusan yang keluar dari-Nya pastilah merupakan keputusan dan adil dan bijaksana. Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya, tapi hamba-Nya lah yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Apa pun keputusan-Nya harus kita terima. “Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai menjadi lebih baik bagi kamu, dan bisa jadi apa yang kamu sukai itu menjadi jelek bagi kamu.” (Al-Baqarah: 216)

Sebagai hambanya Al-Hakam, kita hanya boleh berbaik sangka terhadap apa yang telah diputuskan kepada kita sampai saat ini, juga terhadap apa yang akan diputuskan kelak pada kita di akherat nanti. Kita rela dan bersyukur atas keputusanNya di dunia ini, dan kita senantiasa berharap keputusan terbaik buat kita di akherat kelak.

“Maka patutkah aku mencari hukum selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?” (Al-An’am: 114)

Al - Bashir Yang Maha Melihat

Posted by "Asmaul Husna" 0 comments
Al-Bashir berasal dari kata ba-sha-ra, yang arti harfiahnya adalah “melihat”. Dalam pengertian yang lebih luas, bashara bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip dalam al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada para terpidana dan petugas di lingkungan penjara dengan mengatakan: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah),” (QS. Yusuf: 108)

Arti lain, seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin. Ada pula yang menyebutnya dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang telah memiliki bashirah akan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Ketika melihat sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan mata batinnya yang dapat menembus batas ruang dan waktu.

Bashirah dalam pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekat atau melakukan taqarrub kepada Allah. Salah satu hamba-Nya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an: “Telah diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Israa: 1).

“Tanda-tanda Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung, atau tersembunyi. Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam ghaib dibuka sehingga tidak ada lagi pembatas yang mengantarai Rasulullah saw dengan alam ghaib. Dengan begitu, peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang jelas di hadapannya.

Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga dikaruniakan kepada para hamba-Nya yang senantiasa taqarrub kepada-Nya. Dalam hadits Qudsi Allah berfirman:

“Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti Ku-kabulkan. Jika meminta perlindungan, maka pasti Aku lindungi.” (HR. Bukhari)

Sebagai hamba Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan diawasi Allah. Bagi-Nya, tiada tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan mudharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang mengawasi kita. Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera meninggalkannya.

Ya Allah, Al-Bashir
Kami malu jika Kau beberkan yang Kau lihat pada diriku
Kami takut jika Kau balas yang Kau lihat padaku
Ya Bashir, berilah kami mata batin agar kami dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Mu,
agar kami senantiasa memuliakan dan mengagungkan-Mu.

As-Sami' Yang Maha Mendengar

Posted by "Asmaul Husna" Sunday, April 7, 2013 0 comments
Semua ucapan, pikiran, desiran daun dan segala gerak-gerik makhluk tak luput dari jangkauanNya, semua terdengar dengan jelas meski terkadang ada yang menyembunyikan
Allahlah yang mendengar semua yang terucap, terlintas dalam pikiran dan akal, apa yang dirasakan dalam hati. Gemericiknya air, gemerisiknya dedaunan kala ditiup angin, bahkan bunyi jejak langkah kaki semut Allah mendengarnya dengan jelas. As-Sami’ Yang Maha Mendengar, adalah sifat kesempurnaan karena lawan katanya tuli, sebagai sifat kekurangan.

Ada dua tingkat kesempurnaan yang relatif dan mutlak. Kesempurnaan mutlak tidak bergantung pada alat, keadaan, atau batasan. Sedangkan kesempurnaan yang relative tergantung pada alat, keadaan dan tebatas.
Alam semesta sejak penciptaan awal hingga akhir dari satu sisi ke sisi yang lain tanpa terputus, segala bunyi dan suara selalu mengiringi penciptaan ini. suara ini terkadang ada yang mampu didengar oleh manusia, sebagaimana halnya suara ledakan keras, ada pula yang tidak terdengar oleh pendengaran manusia.

Suara ini tidak ada yang hilang dari catatan As-Sami’ dalam buku besar yang tersimpan dalam lauhul mahfudz. Semua suara dan bunyi dari makhluk di alam semesta terjejak dengan rapi, penuh makna. Jika suara ini adalah pertanyaan, maka Allah menjawabnya, jika sebuah tuntutan, maka akan dipenuhiNya, jika ini adalah sebuah salah, maka akan ditunjukkan jalan kebenaran olehNya.

Allah Maha mendengar segala keluh, gundah, kegelisahan, dan kehampaan kita. Hanya dengan isyarat dalam hati Allah mampu mendengar. Tak perlu kita melenguhkan suara kita untuk memohon kasihNya. Hanya dengan ungkapan air mata, Allah sudah memahami apa yang kita inginkan.

Allah dengan sengaja menciptakan dua telinga untuk kita, agar kita lebih banyak mendengar suara-suara di sekeliling kita. Mendengar suara rintihan kaum papa yang mengharap pertolongan sesama. Mendengar nasihat-nasihat yang datang dari berbagai penjuru arah untuk memaknai kebesaran As-Sami’, mencintai sifat-sifatNya yang sempurna.

Ini semua merupakan bukti, bahwa Allah ada di sekeliling kita dengan segala jejak yang ditinggalkanNya melaui suara-suara hidayah alam. Sehingga kita bisa menyadari, menemukan dan mencintaiNya dimanapun kita berada.

Di saat kita merasa hampa dan tiada berdaya, hanya Allah mampu mendengar apa isi hati kita. Segala yang tak terucap dari lisan, Allah tahu dengan sejelas-jelasnya. Allah tidak akan pernah bosan mendengar segala pinta dan asa kita.

Maha MendengarNya, tidak hanya di alam nyata, di alam ghaib Allah menguasaiNya. Sebagaimana firmanNya dalam surat Al-An’am 59, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (Q.S. Al-An’am 59)

Menyebut asma As-Sami dalam setiap dzikir kita semakin menambah kedekatan kita kepadaNya. Memuja sifat dan mengamalkan dalam kehidupan akan membawa kita kepada kepekaan untuk lebih memahami kekuasaaNya.

Pernahkah kita mendengar detak jantung yang memompa darah kita setiap harinya? Atau suara helaian nafas yang keluar dari rongga dada ini? Begitu pun dengan desir aliran darah yang menjalari? Semua anggota tubuh kita, tiada berhenti memujanya. Hanya keterbatasan pendengaran kita yang membuat segalanya menjadi kabur tertutup oleh hijab kekhilafan kita.

Allah dalam hadis qudsi mengungkapkan, “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan terus menerus bersikapa taat kecuali Aku akan mencintaiNya dan jika Aku mencintaiNya, maka Aku akan menjadi telinganya  yang dengannya dia mendengar dan menjadi lidahnya yang dengannya dia berbicara dan menjadi tangannya yang dengannya dia menggenggam.”

Semoga pendengaran kita semakin mengasah kepekaan kita untuk merasakan keindahan semesta dan penciptaNya.

Popular Posts