Al Khaafid
Thursday, April 4, 2013
0
comments
Al-Khaafidh berasal dari kata kerja kha-fa-dha, yang berarti
merendahkan. Dalam al-Qur’an tidak didapati satu ayat pun yang secara
langsung menyebut nama Al-Khaafidh. Meskipun demikian, ditemukan turunan
kata itu dalam beberapa ayat, misalnya dalam surat Al-Waqi’ah: 3 yang
menggambarkan hari kiamat sebagai ”Khaafidhatur-Raafi’ah”, (pada hari
itu Allah ”merendahkan dan meninggikan” derajat manusia). Ada manusia
yang saat di dunia memiliki tempat dan kedudukan yang tinggi di depan
manusia, tapi oleh Allah pada hari kiamat justru direndahkannya.
Sebaliknya, ada yang dalam kehidupan dunianya direndahkan oleh manusia,
sementara Allah pada hari itu justru meninggikan derajatnya.
Suatu hari Rasulullah ditanya tentang arti firman ”Setiap saat Dia
(Allah) dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman: 29), beliau menjawab: ”Termasuk
kesibukan-Nya adalah mengampuni dosa, menghilangkan keresahan,
meninggikan kelompok-kelompok manusia, dan merendahkan yang lain”. (HR.
Ibnu Majah)
Dari hadits di atas, kita bisa menangkap makna bahwa Allah swt tidak
pernah berhenti beraktifitas. Dia senantiasa sibuk, selain menjaga
rotasi alam, juga mengatur kehidupan makhluk istimewa-Nya yang bernama
manusia. Dia memberi ampunan pada siapa saja yang bertaubat kepada-Nya,
menghilangkan kegelisahan orang-orang yang stres, meninggikan orang yang
berprestasi, dan merendahkan manusia dengan berbagai sanksi sosial,
moral, dan hukum.
Al-Qur’anul Karim telah menjelaskan kepada manusia tentang
hukum-hukum yang berkaitan dengan kejatuhan, kebangkitan, dan
ketinggian.
Berikut ini adalah salah satu ayat yang menjelaskan tentang hukum tersebut:
”Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam kesempurnaan ciptaan,
kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (QS.
At-Tiin: 5)
Al-Qur’an sangat cermat memilih kata, dipilihnya kata ”Kami” untuk
menggambarkan keterlibatan manusia dalam ketinggian dan kerendahan
derajatnya. Jika manusia mengoptimalkan fungsi ruh Ilahi –yang dalam
al-Qur’an digunakan istilah ”Min Ruuhiy”— untuk mengangkat derajatnya ke
tingkat ”ahsanu taqwiim, maka tinggilah derajat kemanusiaannya.
Sebaliknya, jika manusia melepaskan diri dari daya tarik ruhnya dan
mengikuti daya tarik bumi (gravitasi) sebagaimana makhluk binatang yang
hidupnya hanya diperuntukkan bagi pemenuhan makan, minum, dan hubungan
seksual semata, maka ia akan meluncur jatuh ke tingkat yang
serendah-rendahnya.
Al-Qurthubi dalam al-Asmaul Husna mengingatkan: ”Ketahuilah bahwa
yang direndahkan Allah adalah manusia yang terhindar dari taufiq dan
pertolongan-Nya, yang diperintah oleh nafsunya, yang tidak memperoleh
kebajikan dari Tuhannya. Apabila berusaha kembali kepada-Nya, ia tidak
mendapatkan bisikan hati tentang kekuasaan-Nya. Apabila berusaha
mendengar bisikan-bisikan hatinya, ia tidak meraih percaya diri atau
kelezatan dalam bermunajat dengan-Nya”.
Untuk menjaga keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di muka bumi, Allah swt menerapkan hukum ”reward and punishment”. Hadiah diberikan kepada mereka yang berprestasi, sedang hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar aturan. Bisa jadi reward and punishment itu
tidak diberikan semasa hidup di dunia ini, tapi yang pasti di akhirat
nanti semua orang akan mendapat hadiah dan sanksi. Orang-orang yang
beriman dan beramal shalih akan diangkat derajatnya dengan mendapat
kedudukan yang tinggi (surga), sedangkan mereka yang kafir, musyrik, dan
munafiq akan diberi sanksi dengan hukuman neraka jahim. Allah
menghinakan siapa saja yang layak mendapatkan kehinaan akibat
perbuatannya.
0 comments:
Post a Comment